SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan potensi sumber daya alam.
Namun ternyata itu semua tidak menjamin rakyatnya untuk mencapai kepada taraf
kemakmuran. Warga negara yang berdiam di negara ini, cenderung miskin dan masih
dalam kebodohan. Rupa-rupanya pergantian pemimpin Indonesia pun tidak mampu
untuk memecahkan permasalahan yang sangat pelik ini. Kebanyakan pemimpin dan wakil rakyat yang ada sekarang
tidak mengerti tentang persoalan-persoalan yang terjadi dalam negara ini.
Akibatnya mereka tidak bisa memecahkan setiap permasalahan yang ada.
Mungkin inilah yang disebut pemimpin yang buta teori politik,
sehingga yang mereka incar selama ini adalah bagaimana ia bisa lama berkuasa
dan seberapa banyak keuntungan yang akan ia peroleh jika menjadi pemimpin
negara. Inilah perbincangan menarik yang terjadi dalam beberapa bulan kedepan
sebelum pelaksanaan Pemilu 2014. Namun disini, kami tidak akan membahas
permasalahan itu. Kami akan membahas mengenai teori politik Abu al-A’la
al-Maududi.
Al-Maududi adalah seorang politkus Islam yang berasal dari India,
ia sangat mengidealkan sistem politik Islam pada masa nabi dan para
Khulafaurrasyidin yang diangggap sebagai sistem politik yang Islami. Dia
menolak tegas ide-ide yang berasal dari Barat, seperti nasionalisme, demokrasi,
dan sekularisasi. Dengan kata lain, al-Maududi mencoba melawan arus
modernisasi dengan mengembalikannya
kepada sistem khilafah pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.Realitas sosial di
era modern yang tentunya sangat berbeda dengan zaman Nabi dan sahabat, dan
usaha pemaksaanya pada romantisme masa lalu inilah yang menjadi titik kritik
dari pemikiran al-Maududi. Dimana al-Maududi dalam teori politiknya membahas
mengenai negara ideal dan keriteria pemimpin yang ideal. Tapi sebelum itu, kita
akan membahas biografi dari al-Maududi, agar kita tahu pengaruh apa saja yang
telah membuat ia mencetuskan teori politiknya. Untuk lebih jelasnya marilah
kita mulai menuju pada pembahasan teori politik Abu al-A’la al-Maududi.
B.
Biografi dan Karya Tulis Abu Al-A’la Al-Maududi
1.
Riwayat Hidup dan wafatnya
Sayyid Abu Al-A’la
Al-Maududi dikenal juga sebagai Maulana atau Syekh Sayyid Abu A’la Maududi.[1] Ia
lahir pada tanggal 3 Rajab 1321, atau bertepatan dengan 25 September 1903, di
Aurangbad, yakni salah satu kota terkenal di daerah yang kini dikenal sebagai
Andra Pradesh, India. Ayahnya lahir pada tahun 1844 ia adalah seorang ahli
hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran Islam. Al-Maududi adalah anak
terakhir dari tiga bersaudara.[2]
Namun sayang pada
tahun 1953 al-Maududi dijatuhi hukuman mati karena tuduhan “subversif” yang
berkaitan dengan sekte Ahmadiyah Qadiani, dengan gembira ia memilih mati dari
pada naik banding, dan ia pun sempat mengatakan kepada anak dan para sahabtnya:
“jika ajal saya telah datang, maka tidak seorang pun dapat mencegahnya, namun
bila ajal itu belum datang, mereka tidak dapat menggantung saya, walaupun
mereka menggantung diri mereka sendiri untuk menggantung saya.” Dengan
keteguhan yang demikian pemerintah tergoncang disamping mendapat tekanan dari
dalam dan luar negri, dan pada akhirnya al-Maududi dijatuhi hukuman seumur
hidup.
2.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan
awal Abu Al-A’la Al-Maududi diperoleh dari ayahnya sendiri yangbernama Ahmad
Hasan di rumahnya, kemudian Abu Al-A’la
Al-Maududi melanjutkan pendidikannya di madrasah Fauqaniyah, sebuah sekolah
tinggi yang terkenal di hyderabad yang di sebut “Madrasah” yakni suatu sekolah
yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam Tradisional,
kemudian ia melanjutkan belajar di Darul ‘Ulum di Hyderabad, namun ia hanya
belajar sebentar di sini karena ayahnya yang sedang sakit, dan kemudian wafat.[3] Setelah itu pendidikan formalnya terhenti.
Namun
dengan ketekunannya ia tetap bisa melanjutkan pelajaran-pelajarannya di luar
lembaga pendidikan formal, pada awal 1920-an Al-Maududi mahir berbahasa Arab,
bahasa Persia, bahasa inggris, dan bahasa Urdu yang merupakan bahasa ibunya.
Dapat
dikatakan bahwa sebagian besar ilmu yang diperoleh Al-Maududi diterima dari
bimbingannya dengan para sarjana yang tangguh dilingkungannya kala itu. sejak
muda al-Mududi telah menyukai jurnalisme, dan ketika usianya 20 tahun dia telah
menjadi editor beberapa mass media. Tidak
hanya itu pada usia yang relatif muda ini pun, muncul minat al-Maududi terhadap
politik. Dalam usia ini pula al-Maududi menerbitkan buku karyanya yang
fenomenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu buku yang sangat cermat dan
tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai. Karyanya ini memperoleh
perhatian yang sangat besar dan penilaian yang sangat tinggi dari dunia
akademik pada waktu itu, seperti Sir Muhammad Iqbal dan Maulana Muhammad Ali
Jauhar[4] memberikan pujian yang sangat tinggi pada
buku tersebut. Bahkan buku yang di tulis pada usia 20 tahun itu sampai sekarang
tetap dinilai sebagai karya Al-Maududi yang berharga.
Pada tahun 1933
al-Maududi lebih banyak menghabiskan waktu untk menulis tentang berbagai
massalah dan mulai menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Quran yang menjadi sarana penyalur gagasan-gagasannya.
Pada tahun ini pula tulisan-tulisan al-Maududi membanjir, dan sebagian besar
dari tulisannya mencoba memecahkan masalah politik dan budaya yang di alami
kaum muslimin India, tentunya semua itu dtinjau dari sudut pandang Islam.
Dengan membaca
gagasan-gagasan yang di usung oleh al-Maududi, Muhammad Iqbal membujuknya agar
berpindah tempat dari Hydearabad dan tinggal di distrik Phatankot, suatu daerah
dibagian timur Punjab, di sana al-Maududi bekerjasama dengan Muhammad Iqbal
mendirikan Dar al-Islam yaknni
suatu pusat riset, dengan maksud untuk mendidik para sarjana Islam agar mereka
dapat berkarya secara positif dalam berkhidmat pada Islam, terutama untuk
melakukan rekontruksi syariat Islam.
Pada awal tahun
1940 Maududi mendirikan gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri, yakni Gerakan Jama’ati Islam ini pada
hakikatnya adalah gerakan kader-kader Islam dan tidak pernah menjadi gerakan
massa. [5]
Ketika negara
Pakistan lahir sekitar tahun 1947, Maududi segera pindah ke Pakistan dan mulai
memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut mendirikan negara Islam yang
benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. untuk mencapai tujuan tersebut
al-Maududi menulis banyak terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial
politik. Kiranya sudah jelas dengan gagasan-gagasan yang diusung oleh Maududi
tentunya tidak berjalan mulus karena sering berbenturan dengan kebijaksanaan Islam,
yang oleh Maududi dipandang sebagai meninggalkanya cita-cita didirikannya
negara Pakistan. Oleh karena itu ia sering keluar masuk penjara yang sudah
tidak asing lagi baginya. Dengan tekad yang keras dan teguh pada pendiriannya,
ia sangat dikagumi baik oleh teman atau pun lawannya.
Selama kurun waktu
60 tahun al-Maududi tidak pernah berhenti menyuarakan dan menawarkan Islam
sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang tengah dilanda kebingungan
ideologis, filsafi, dan sosial-politik. Ia sepanjang hayatnya ia mengabdikan
hidupnya untuk agama dan umat Islam dunia.
Diakui bahwa
al-Maududi adalah pemikir Islam yang
besar dari sub konten Indo-Pakistan. Bahkan seorang Sayyid Qutb, mufassir
modern telah menyediakan halaman dari kitab tafsir Fi Dzilalil Quran
untuk mengabdikan pendapat-pendapat dan ijtihad Maududi tentang Jihad.
Maududi juga
menjadi salah seorang tokoh Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Mekah.
Yang tidak kalah mengagumkan dari seorang Maududi adalah penguasaanya terhadap
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan gerakan Islam Internasional.
Dengan karya terbesarnya Tafhim al-Quran yang memerlukan 30 tahun untuk
menyelesaikan, kiranya karya ini akan tetap monumental dan klasik yang menjadi
salah satu sumber referensi kaum muslimin dunia, baik puluhan tahun atau bahkan
ratusan tahun kedepan.
3. Karya-Karya:[6]
1. Al-Hukumah al-Islamiyah
2. Hugag Ahl al-Dzimmah fi al-Daulah al-Islamiyah
3. Minhaj al-Inqilab al-Islami
4. Nazhariyah al-Islam al-Siyasiyah
5. Al-Mabadi al-Asasiyah li al-Daulah al-Islamiyah
6. Al-qanun al-Islami wa Turuq Tanfidzihi
7. Tadwin al-Dustur al-Islami.
C.
Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi
1.
Munculnya Gagasan Politik Al-Maududi
Al-Maududi sebagai seorang sosok pemimpin tidak serta merta satu
pandangan mengenai perpolitikan yang terjadi di negaranya, india yang tengah
bergejolak atas pertentangan politik antara paham yang diaopsi dan dipengaruhi
oleh kaum barat liberalis-sekuler dengan
para tokoh Islam fundamentalis. salah satunya adalah al-maududi. Selepas dari
penjajahan Inggris yang sama-sama diperjuangkan oleh kaum Hindu dan Islam,
Maududi menentang keras pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada umat Islam India
baik oleh Partai Kongres di bawah pimpinan Mahatma Gandhi maupun oleh liga
Muslim yang dipimpin oleh Ali Jinnah. Ia meliahat akan terjadi ketidakadilan
dalam kehidupan umat muslim jika bergabung dengan India yg mayoritas Hindu. Maududi
menyatakan bahwa umat Islam di India adalah suatu masyarakat tersendiri yang
memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola kehidupan yang khusus, dan
antara umat Islam dan umat Hindu terdapat banyak ketidakcocokan yang mendasar.
Oleh karenanya menurut Maududi tidak mungkin umat Islam bergabung dengan umat Hindu
dalam satu negara.
Senada dengan Muhammad Iqbal (1876-1938) mencetuskan ide pemisahan
Negara Hindu India dengan Islam. Yaitu ide berdirinya Negara Islam Pakistan.
Oleh karena itu, dalam rapat tahunan Liga Muslim tahun 1930, Iqbal mengatakan
“Saya ingin melihat Punjab, daerah Perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan,
bergabung menjadi satu negara. Di sinilah ide dan tujuan membentuk negara
tersendiri di umumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan
nasional umat Islam India. Atas ide tersebut, Iqbal disebut sebagai Bapak
Pakistan. Cita-cita ini diwariskan kepada Muhammad Ali Jinnah untuk
mewujudkannya dalam kenyataan dengan nama “Pakistan” (singkatan dari
Punjab-Afghanistan-Kashmir-Sindi-dan Balukhistan).[7]
Dalam perkembangan politik di Pakistan belum stabil dikarenakan
dari sebuah ide dan wacana baru bisa direalisasikan pembentukan Negara Islam
tersebut sesuai cita-cita Muhammad Iqbal
namun Allah berkehendak lain, ia Wafat sebulan setelah berdirinya Negara Islam
pakistan sehingga ia tidak sempat menyaksikan persmiannya dan menyelesaikan,
menyusun kodifikasi hukum Islam, termasuk konstitusi Islam yang ia susun
bersama Abul A’la Al-Maududi (1903-1974)[8].
Pada bulan Maret 1948, Maududi dan Jama‟atnya menyelenggarakan
pertemuan akbar di Karachi untuk merumuskan atau mengesahkan rumusan konsepsi
kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang kemudian
terkenal dengan Tuntunan Empat Butir yang bunyinya sebagai berikut:
“Mengingat bahwa mayoritas dari rakyat Pakistan percaya kepada
prinsip-prinsip Islam, dan mengingat pula bahwa tujuan semua perjuangan dan
pengorbanan mereka dalam mendirikan (negara) Pakistan ialah agar mereka dapat
menghayati pola hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini, maka
tiap Muslim di Pakistan menuntut kepada majelis konstituante agar mendasarkan
undang-undang (Pakistan) atas prinsip-prinsip berikut:
1. Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah,
dan oleh karenanya Pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak
boleh melampaui batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan.
2. Syariat Islam merupakan hukum dasar bagi Pakistan.
3. Pembatalam semua undang-undang yang ada bertentangan dengan
syariat Islam, dan kemudian menangguhkan semua undang-undang yang tidak sesuai
dengan syariat Islam.
4. Pemerintah Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai
dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.”[9]
Undang-Undang Dasar 1956 telah menampung sebagian dari aspirasi
Maududi dan Jamiat antara lain dapat dilihat bahwa nama resmi Pakistan adalah “Republik
Islam Pakistan”. Kemudian dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar itu
dinyatakan bahwa Pakistan adalah suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas
prinsip-prinsip Islam. Pasal 32 menegaskan bahwa kepala negara harus seorang Islam.
Pasal 97 menjanjikan pembentukan suatu pusat penelitian Islam dengan tugas
membantu melakukan rekonstruksi masyarakat Islam (yang ada) berdasarkan
konsepsi Islam yang benar. Yang terakhir adanya satu jaminan dalam pasal 198
bahwa tidak akan diundangkan rancangan undang-undang yang bertentangan dengan
al-Qur‟an dan Hadis Nabi.[10]
Al-Maududi juga menentang gagasan nasionalisme Islam. Menurutnya,
gagasan nasionalisme itu adalah sesuatu yang diimpor dari Barat, tidak sesuai
dengan ajaran Islam, dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai dasar
dari apa yang dinamakan negara Islam. Nasionalisme Islam, seperti halnya
nasinalisme-nasionalisme yang lain, berpangkal pada prinsip kedaulatan rakyat
dan bukan kedaulatan Tuhan, dan cenderung kepada sekularisme dan pemisahan
antara agama dan negara.
Sebagaimana dilihat secara historisnya, al-Maududi menghendaki
ummat Islam pada zaman modern ini dimana jika umat Islam ingin kembali
mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah dilewati pada awal
tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada dua sumber hukum Islam
yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah secara mutlak serta mengembalikan sistem
pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad modern ini kepada sistem yang
telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin.[11]
Hal ini terlihat bahwa al-Maududi ingin mengembalikan masa-masa Islam di zaman
keemasan dan kemajuan itu di zaman sekarang ini. Sehingga dari pemikiran yang
berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi
yaitu menjadikan Islam “as way of life” (sebagai jalan hidup)[12]
secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam.
Namun, mengacu
pada realitas politik yang terjadi di India pada saat al-Maududi masih hidup
yaitu sebelum terpisahnya Pakistan dari India, al-Maududi sependapat dengan apa
yang diutarakan oleh Ali Jinnah mengenai “Teori Dua bangsa”, yang menyatakan
bahwa umat Islam di India dan umat Hindu memiliki tata nilai moral yang berbeda
dan pola ajaran yang berbeda pula, keduanya memiliki ketidakcocokan yang
mendasar. Maka dari itu, umat Islam tidak mungkin bergabung dengan umat Hindu
dalam satu negara.
Al-Maududi juga
tidak sependapat dengan apa yang diusung oleh Liga Muslim mengenai nasionalisme
Pakistan. Menurutnya, ide nasionalisme tidak dikenal dalam Islam, hal tersebut
semata-mata merupakan ide impor dari Barat untuk memecah belah kekuatan Islam.
Ide nasionalisme telah melanggar prinsip universalisme Islam yang tidak
mengenal tapal batas wilayah teritorial.
Bahkan
Al-Maududi menentang tata cara
kemerdekaan yang dicapai oleh Pakistan, yang dengan melalui jalan peperangan.
Dia lebih menginginkan kemerdekaan melalui jalan revolusi. Revolusi di sini
tidak seperti revolusi yang diartikan oleh kelompok sosialis. Revolusi yang
dimaksud oleh al-Maududi adalah revolusi secara bertahap melalui jalan
perbaikan moral dan akhlak umat Islam, tanpa menggunakan kekerasan. Dengan
perbaikan moral dan akhlak umat, maka menurutnya akan menimbulkan kesadaran
kolektif dari kalangan umat itu sendiri.
Lantas bagaimana latar belakang al-Maududi dalam pemikiran tentang
Negara dan juga politiknya?
2.
Tata Negara
Pemikiran Maududi banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik.
Setidaknya ada dua yang mempengaruhi pemikiran Maududi yaitu; Pertama,
keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk didalamnya umat Islam;
dan Kedua,
kenyataan dari adanya kelebihan dan kemajuan Barat, yang menjajah India dan sebagian
besar dunia Islam.
Dari peristiwa tersebut, terdapat tiga keyakinan atau anggapan yang
melandasi pemikiran Maududi tentang kenegaraan menurut Islam. Pertama,Islam
adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi
kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam tidak
perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat, cukup kembali kepada Islam
dengan menunjuk kepada pola semasa al-khulafa al-Rasyidin sebagai model atau
contoh sistem kenegaraan menurut Islam. Kedua, kekuasaan tertinggi, yang
dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia
hanyalah pelaksana kedaulata Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di
bumi. Ketiga,
sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal
batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Berdasarkan ketiga acuan diatas, maka dengan sendirinya Maududi
mendukung berdirinya nagara Islam agar menjamin pelaksanaan hukum Tuhan di
dunia. Sedangkan tentang negara Islam, dalam pandangan Maududi ada sembilan
ciri khas dalam negara Islam tersebut, yaitu;
a.
Negara itu didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka
dan bersedia menundukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam;
b.
Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi didalamnya
adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan
teori teokrasi;
c.
Sistem negara Islam bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi yang
pelaksanaannya sesuai dengan pendapat rakyat, akan tetapi kecenderungan rakyat
diatur dan diluruskan dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya
d.
Sistem negara ini adalah negara yang berdasarkan konsep-konsep yang
dikelola orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasannya, namun
bagi orang yang memiliki keyakinan yang berbeda merekapun memiliki hak-hak yang
sama dengan orang yang meyakini dan menerima prinsip serta gagasan negara;
e.
Negara ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas
ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografi. Setiap manusia
dimanapun yang dapat menerima prinsip negara ini adalah termasuk warga negara Islam;
f.
Semangat hakiki yang menjiwai negara ini ialah mengikuti akhlak,
bukannya mengikuti politik serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan
urusan-urusannya berdasarkan takwa kepada Allah dan takut pada-Nya. Pemilihan
para pemimpin dan orang-orang ahl al-halli wa al-’aqd (yang
berhak ”melepas dan mengikat”) dalam negara ini adalah: kebersihan akhlak dan
kesuciannya disamping kemampuan intelegensia dan fisik;
g.
Sasaran negara ini adalah menyerukan perbuatan kebaikan,
melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemunkaran dan
memberantas kejahatan serta segala bentuk perusakan;
h.
Nilai-nilai asasi negara ini adalah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan
serta pelaksanaan undang-undang, tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan
pelanggaran, kesadaran akan tanggung jawab dihadapan Allah dan tidak membiarkan
tidak terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya;
i.
Ditetapkannya adanya hubungan keseimbangan antara individu dan
negara dalam sistem ini, sehingga negara dan penguasa menjadi penguasa mutlak,
namun juga tidak memberikan kemerdekaan mutlak tanpa batas kepada individu dan
membiarkannya berbuat apa saja.[13]
Kalau diringkas pendapat Maududi, ada 4 ciri negara Islam, yaitu;
1)
kedaulatan ada di tangan Tuhan;
2)
Hukum tertinggi dalam negara adalah syari’ah;
3)
Pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan
kehendak-kehendak-Nya;
4)
Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui
batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan.
Kemudian bagaimana tujuan Negara menurut Islam?
Menurut
al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan
syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk
menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan
menjalankan syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang
harmonis dan maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh
Allah.
Namun
sebagaimana yang dikutip dari buku primer dalam pembuatan makalah ini yang
sudah diterjemahkan yaitu al-Khilafah wa al-Mulk karya al-Maududi yang
diterjemahkan menjadi Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah
pemerintahan Islam, beliau menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya
Negara, yaitu:[14]
a)
Untuk
mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau
antar-kelas dalam masyarakat.
b)
Untuk
memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan
melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.
c)
Untuk
menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam
al-Qur’an.
d)
Untuk
memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan
yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.
e)
Menjadikan
Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga
Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.
3.
Teori Politik Al-Maududi
Sudah jelas bahwa teori politik yang dikembangkan al-maududi adalah
teori politik Islam.[15]
pendapat-pendapat al-Maududi yang sangat menonjol antara lain; pertama,
Asas terpenting dalam Islam adalah tauhid. Seluruh nabi dan rasul mempunyai
tugas pokok untuk mengajarkan tauhid. Kedua, sistim politik demokrasi
mempunyai kelemahan, yakni kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama
rakyat, meskipun bukan untuk rakyat melainkan untuk dirinya. Ketiga, penyebab
kemerosotan ekonomi adalah egoisme dan sistim politik yang tidak benar.
Kelihatannya al-Maududi berjuang mati-matian demi memelihara kumurnian Islam
dari pengaruh Barat, apalagi ia hidup ditengah-tengan minoritas umat Islam.
Al-maududi sangat mengecam sistem kerajaan, karena sistem monarki
itu cenderung memaksakan kehendaknya ats nama kekuasaan menindas rakyat dalam
bidang ekonomi, politik, hukum dll. Sementara pemerintahan yang dikehendaki Islam
adalah Theo-Demokrasi.[16]
Theo-Demokrasi dianggap lebih memiliki karakter Islam dan mampu
menjamin kemaslahatan manusia. Jika diuraikan dalam makna etimologis, terdapat
dua kata, yaitu Teo dan Demokrasi. Tetapi “Teo” disini bukan mengarah pada
Teokrasi[17]
meskipun pada hakikatnya terma ini diambil dari du aide, yaitu akomodasi ide
teokrasi dan ide demokrasi . Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan
rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya
kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi
pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua,
praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena
partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau
lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari
sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun
mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan
pribadi.
Namun demikian,
ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa
kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin.
Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang
menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan.
Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, dan ini pulalah yang mengarahkan
khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara
demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[18]
Mengenai teokrasi yang menjadi dasar konsep teo-demokrasi,
sebenarnya juga ditolak al-maududi, terutama teokrasi eropa abad pertengahan
yang mendominasi kekuasaan tertinggi dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan.
Sedangkan dalam konsep al-maududi bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan
Allah. Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti
bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu
dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain,
theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah
pengawasan Tuhan. Atau seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular
sovereignty under suzerainty of God .
4.
Teori Kekhalifahan
Karena al-Maududi menerapkan system kedaulatan
tertinggi adalah Tuhan, maka dari prinsip ini kita dapat menyimpulkan bahwa
kedudukan orang-orang yang diberi amanat seperti pemimpin negara, agar dapat
melaksanakan hokum-hukum Allah di muka bumi. Dengan itu pula, mereka bisa disebut sebagai wakil Penguasa
Tertinggi itu, dan Islam telah dengan tepat memberikan kedudukan ini kepada
mereka. teori negara Islam sendiri terdapat dalam al-Qur’an ayat 24; 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang
telah beramal saleh di antaramu untuk mengangkat mereka sebagai wakil-wakil-Nya
yang berkuasa di muka bumi ini, sama seperti mereka yang telah
diangkat-Nya diantara orang-orang (yang
hidup) pada masa sebelumnya.”
Ayat tersebut menjelaskan dua hal yang sangat fundamental dapat
ditarik sebagai kesimpulan: Pertama, Islam menggunakan istilah
kekhilafahan bukan kedaulatan. Sebab, kedaulatan itu hanya dimiliki oleh Allah
saja, dan siapa saja yang memegang kekuasaan dan pemerintahan, harus sesuai
dengan hokum Allah. Mereka tidak lain hanyalah sebagai wakil atau khalifah dari
Penguasa Tertinggi itu dan tidak berhak menjalankan kekuasaan selain yang telah
diserahkan kepaddanya. Kedua, kekuasaan untuk memerintah di muka bumi
ini dijanjikan kepada masyarakat mu’min secara keseluruhan, dan tidak
dinyatakan bahwa kekuasaan itu akan diberikan kepada seseorang atau suatu
kelompok tertentu.[19]
Selain itu, system khilafah sendiri berdasar pada kedudukan manusia
sebagai khalifah di muka bumi yang telah terdapat pada diri tiap-tiap manusia.
Dengan hal ini, manusia sebagai khalifah mengemban beban sebagai penjaga dan
pelestari alam. Dengan begini manusia tidak akan berbuat sekehendak hati mereka
–meski pun mereka diberikan kehendak bebas– tanpa memerdulikan kepentingan orang lain. Karena
memang tiap-tiap manusia adalah khalifah yang diberi tanggung jawab menjaga dan
melestarikan bumi.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas akan disimpulkan bahwasanya Abul
A'la Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903, yang bertepatan dengan
3 Rajab 1321 di Awrangabad.
Al-Maududi merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide
pembaharuannya, yang hidup di zaman modern. Sebagaimana tulisan para pembaharu
waktu itu, al-Maududi sering memancing para pembacanya untuk berpikir lebih
jauh dan juga sering menimbulkan kontroversi. Hingga tidak kurang dari 138 buku
yang telah ditulis oleh al-Maududi dan karya-karyanya itu menyangkut
permasalahan yang sangat luas di budang sejarah, pendidikan, hukum, politik,
ekonomi, modernism, tafsir al-Qur’an, masalah-masalah strategi perjuangan,
ibadah dan kedududkan wanita dalam perjuangan dan lain-lain. Namun yang menarik
dari tulisan-tulisan al-Maududi adalah konsistensi pemikirannya dan
kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya
menjadi suatu sistem atau tata-pikir yang benar-benar terpadu.
Dalam pemikirannya tentang Negara al-Maududi mengemukakan bahwa konsep
Negara menurut Abul A’ala Almaududi adalah Negara harus dibangun dengan
mencontoh pemerintahan zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang senantiasa
kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Inilah yang menjadi rujukan dalam
pemikiran al-Maududi.
Kemudian pengaruh yang di timbulkan akibat
dari pemikiran Abul A’la Al-Maududi adalah banyaknya partai-partai politik yang
berasaskan Islam yang beri’tiqat menjadikan Negara Indonesia berasaskan Islam.
Misalnya ada partai PKS (Partai Kebangkitan Sejahtera), dan juga ada
organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam misalnya HTI (Hizbut Tahrir
Indonesia) dan sebagainya. Terlihat jelas bahwa pemikiran al-maududi ini
berpengaruh yang sangat besar di dunia termasuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan, cet.
I, Jakarta :
Al-Maududi, Abu al-A’la, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis
atas SejarahPemerintahan Islam , penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung:
Mizan, 1996.
Al-Maududi,
Abu al-A’la, Langkah-langkah Pembaharuan Islam, penerjemah
Azra, Azzumardi. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modernisme
Dadang Kahmad dan Afif Mohammad,
Bandung: Pustaka, 1984.
Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 3, cet. 9
Jakarta : PT. Ichtiat
Donohue, John J. dan John L.
Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah
Machnun Husein, Jakarta: Rajawali,1984.
Edisi5, Jakarta:
UI Press, 1993.
Farhan
Daftari, Tradisi-tradisi intelektual islam, Jakarta,:Erlangga, 2002.
hingga Postmodernisme, cet. I, Jakarta
: Paramadina, 1996
http://hamzah-harun.blogspot.com. Diakses pada tanggal 20 November 2013
Jakarta : Bulan
Bintang, 1975
Mizan, 1996.
Mohamed
Mahmud dkk, Pemikiran Islam,Jakarta: Erlangga, 2002.http://tabloidmasjidnus.wordpress.com/edisi/tamara-edisi-iv-juli-2009/%E2%80%9Cnegara-islam%E2%80%9D-dalam-pemikiran-abu-al-a%E2%80%99la-al-maududi/diakses tanggal 21 November 2103
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
jilid I Jakarta : UI
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan
Press, 1978
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran,
Van Hoeve, 2001.
www.amrizalulya.wordpress. Diakses pada tanggal 19 November 2013
[1]http://hamzah-harun.blogspot.com.diakses tanggal 21 November 2013
[2]Abu Al-A’la
Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan
Islam, penerjemah, Muhammad al-Baqir, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) h.7.
[3] Ibid, h. 7
[4] Tokoh terkenal
gerakan khilafah dan kemerdekaan.
[5] Ibid, h. 9
[6]
www.amrizalulya.wordpress
[7] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h 187.
[8] Abu al-A‟la al-Maududi,Hukum dan
Konstitusi Sistim Politik Islam, cet I, (Bandung : Mizan, 1410 H/1990 M),
h. 17.
[9] Munawir Syadzali,. Islam dan Tata
Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi5, Jakarta: UI Press, 1993.h.
164
[10] Ibid, h. 165.
[11] Farhan
Daftari, Tradisi-tradisi intelektual Islam, (Jakarta,:Erlangga, 2002 ),
h. 296
[12] Mohamed Mahmud
dkk, Pemikiran Islam,(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 10
[14] Abul A’la
al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah Pemerintahan
Islam, Penj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), cet. VI, h.31
[15] Prinsip-prinsip berperlembagaan atau
nilai-nilai politikIslam memperoleh kekuasaan perundangan atau mengikat ayat-ayat
al-Qur‟an dan Sunnah karena kedua-duanyan adalah sumber asas dari semua
undang-undang Islam dalam semua aspek kehidupan.Lihat Muhammad S El-Hawa, Fi
al-Nidzam al-Siyasi li al-Daulah al-Islamiyah diterjemahkan oleh Mohd Isa
Che Dir dengan judul Sistim Politik Negara Islam, cet. I, (Selangor
Daral-Ihsan : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), h. 91
[16] Rais, Amien,
Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih
Bahasa Muhammad al-Baqir. Cet VII, (Bandung : Mizan, 1998), h. 12
[17]teokrasi adalah
pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hukum Tuhan (agama) bertentangan
dengan demokrasi ala Barat Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiyah Populer, (Surabaya : Arkola, 2001), h. 745
[18] Perbedaan
terpenting antara sistim Islam dan sistim Demokrasi adalah dalam tiga unsure
yaitu pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyatatau bangsa dalam sistim
demokrasi modern dalam dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup
territorial geografis yang hidup dalam daerah tertentu, dan disatukan oleh
ikatan-ikatan daerah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama. Sedangkan Islam tidak
seperti itu. Kedua, tujuan demokrasi Barat modern atau demokrasi apapun pada
masa lalu adalah untuk kepentingan dunia materi. Namun tujuan-tujuan demokrasi Islam
disamping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga menjauhkan pemikiran keberpihakan
nasional, juga membidik tujuan-tujuan rohani bahkan itulah yang mendasar.
Ketiga, kekuasaan umat (rakyat) dalam demokrasi Barat bersifat mutlak.
Sedangkan dalam Islam, kekuasaan umat (rakyat) tidak semutlak itu. Lihat
Muhammad Dhiauddin Rais, al-Nazhariyat al-Siyasah al-Islamiyah,
diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dengan judul Teori Politik Islam,
cet I, (Jakarta : Gema Insani Press, 1421 H/2001 M), h. 311
[19] John J. Donohue, dan John L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah Machnun Husein
(Jakarta: Rajawali,1984), hlm. 476-477

1 komentar:
alhamdulilah membantu sekali
\
\
penjual jersey murah www.okeorder.com
Posting Komentar