Sabtu, 30 November 2013

SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI



SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI

     A.    Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang kaya akan potensi sumber daya alam. Namun ternyata itu semua tidak menjamin rakyatnya untuk mencapai kepada taraf kemakmuran. Warga negara yang berdiam di negara ini, cenderung miskin dan masih dalam kebodohan. Rupa-rupanya pergantian pemimpin Indonesia pun tidak mampu untuk memecahkan permasalahan yang sangat pelik ini. Kebanyakan  pemimpin dan wakil rakyat yang ada sekarang tidak mengerti tentang persoalan-persoalan yang terjadi dalam negara ini. Akibatnya mereka tidak bisa memecahkan setiap permasalahan yang ada.

Mungkin inilah yang disebut pemimpin yang buta teori politik, sehingga yang mereka incar selama ini adalah bagaimana ia bisa lama berkuasa dan seberapa banyak keuntungan yang akan ia peroleh jika menjadi pemimpin negara. Inilah perbincangan menarik yang terjadi dalam beberapa bulan kedepan sebelum pelaksanaan Pemilu 2014. Namun disini, kami tidak akan membahas permasalahan itu. Kami akan membahas mengenai teori politik Abu al-A’la al-Maududi.

Al-Maududi adalah seorang politkus Islam yang berasal dari India, ia sangat mengidealkan sistem politik Islam pada masa nabi dan para Khulafaurrasyidin yang diangggap sebagai sistem politik yang Islami. Dia menolak tegas ide-ide yang berasal dari Barat, seperti nasionalisme, demokrasi, dan sekularisasi. Dengan kata lain, al-Maududi mencoba melawan arus modernisasi  dengan mengembalikannya kepada sistem khilafah pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.Realitas sosial di era modern yang tentunya sangat berbeda dengan zaman Nabi dan sahabat, dan usaha pemaksaanya pada romantisme masa lalu inilah yang menjadi titik kritik dari pemikiran al-Maududi. Dimana al-Maududi dalam teori politiknya membahas mengenai negara ideal dan keriteria pemimpin yang ideal. Tapi sebelum itu, kita akan membahas biografi dari al-Maududi, agar kita tahu pengaruh apa saja yang telah membuat ia mencetuskan teori politiknya. Untuk lebih jelasnya marilah kita mulai menuju pada pembahasan teori politik Abu al-A’la al-Maududi.



    B.     Biografi dan Karya Tulis Abu Al-A’la Al-Maududi

     1.      Riwayat Hidup dan wafatnya

            Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi dikenal juga sebagai Maulana atau Syekh Sayyid Abu A’la Maududi.[1] Ia lahir pada tanggal 3 Rajab 1321, atau bertepatan dengan 25 September 1903, di Aurangbad, yakni salah satu kota terkenal di daerah yang kini dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ayahnya lahir pada tahun 1844 ia adalah seorang ahli hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran Islam. Al-Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara.[2]

            Namun sayang pada tahun 1953 al-Maududi dijatuhi hukuman mati karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan sekte Ahmadiyah Qadiani, dengan gembira ia memilih mati dari pada naik banding, dan ia pun sempat mengatakan kepada anak dan para sahabtnya: “jika ajal saya telah datang, maka tidak seorang pun dapat mencegahnya, namun bila ajal itu belum datang, mereka tidak dapat menggantung saya, walaupun mereka menggantung diri mereka sendiri untuk menggantung saya.” Dengan keteguhan yang demikian pemerintah tergoncang disamping mendapat tekanan dari dalam dan luar negri, dan pada akhirnya al-Maududi dijatuhi hukuman seumur hidup.

    
    2.      Riwayat Pendidikan

            Pendidikan awal Abu Al-A’la Al-Maududi diperoleh dari ayahnya sendiri yangbernama Ahmad Hasan di rumahnya, kemudian  Abu Al-A’la Al-Maududi melanjutkan pendidikannya di madrasah Fauqaniyah, sebuah sekolah tinggi yang terkenal di hyderabad yang di sebut “Madrasah” yakni suatu sekolah yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam Tradisional, kemudian ia melanjutkan belajar di Darul ‘Ulum di Hyderabad, namun ia hanya belajar sebentar di sini karena ayahnya yang sedang sakit, dan kemudian wafat.[3] Setelah itu pendidikan formalnya terhenti.

            Namun dengan ketekunannya ia tetap bisa melanjutkan pelajaran-pelajarannya di luar lembaga pendidikan formal, pada awal 1920-an Al-Maududi mahir berbahasa Arab, bahasa Persia, bahasa inggris, dan bahasa Urdu yang merupakan bahasa ibunya.

            Dapat dikatakan bahwa sebagian besar ilmu yang diperoleh Al-Maududi diterima dari bimbingannya dengan para sarjana yang tangguh dilingkungannya kala itu. sejak muda al-Mududi telah menyukai jurnalisme, dan ketika usianya 20 tahun dia telah menjadi editor beberapa mass media. Tidak hanya itu pada usia yang relatif muda ini pun, muncul minat al-Maududi terhadap politik. Dalam usia ini pula al-Maududi menerbitkan buku karyanya yang fenomenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu buku yang sangat cermat dan tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai. Karyanya ini memperoleh perhatian yang sangat besar dan penilaian yang sangat tinggi dari dunia akademik pada waktu itu, seperti Sir Muhammad Iqbal dan Maulana Muhammad Ali Jauhar[4]  memberikan pujian yang sangat tinggi pada buku tersebut. Bahkan buku yang di tulis pada usia 20 tahun itu sampai sekarang tetap dinilai sebagai karya Al-Maududi yang berharga.

            Pada tahun 1933 al-Maududi lebih banyak menghabiskan waktu untk menulis tentang berbagai massalah dan mulai menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Quran yang  menjadi sarana penyalur gagasan-gagasannya. Pada tahun ini pula tulisan-tulisan al-Maududi membanjir, dan sebagian besar dari tulisannya mencoba memecahkan masalah politik dan budaya yang di alami kaum muslimin India, tentunya semua itu dtinjau dari sudut pandang Islam.

            Dengan membaca gagasan-gagasan yang di usung oleh al-Maududi, Muhammad Iqbal membujuknya agar berpindah tempat dari Hydearabad dan tinggal di distrik Phatankot, suatu daerah dibagian timur Punjab, di sana al-Maududi bekerjasama dengan Muhammad Iqbal mendirikan Dar al-Islam  yaknni suatu pusat riset, dengan maksud untuk mendidik para sarjana Islam agar mereka dapat berkarya secara positif dalam berkhidmat pada Islam, terutama untuk melakukan rekontruksi syariat Islam.

            Pada awal tahun 1940 Maududi mendirikan gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri, yakni  Gerakan Jama’ati Islam ini pada hakikatnya adalah gerakan kader-kader Islam dan tidak pernah menjadi gerakan massa.  [5]

            Ketika negara Pakistan lahir sekitar tahun 1947, Maududi segera pindah ke Pakistan dan mulai memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut mendirikan negara Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. untuk mencapai tujuan tersebut al-Maududi menulis banyak terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial politik. Kiranya sudah jelas dengan gagasan-gagasan yang diusung oleh Maududi tentunya tidak berjalan mulus karena sering berbenturan dengan kebijaksanaan Islam, yang oleh Maududi dipandang sebagai meninggalkanya cita-cita didirikannya negara Pakistan. Oleh karena itu ia sering keluar masuk penjara yang sudah tidak asing lagi baginya. Dengan tekad yang keras dan teguh pada pendiriannya, ia sangat dikagumi baik oleh teman atau pun lawannya.

            Selama kurun waktu 60 tahun al-Maududi tidak pernah berhenti menyuarakan dan menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang tengah dilanda kebingungan ideologis, filsafi, dan sosial-politik. Ia sepanjang hayatnya ia mengabdikan hidupnya untuk agama dan umat Islam dunia.

            Diakui bahwa al-Maududi adalah pemikir  Islam yang besar dari sub konten Indo-Pakistan. Bahkan seorang Sayyid Qutb, mufassir modern telah menyediakan halaman dari kitab tafsir Fi Dzilalil Quran untuk mengabdikan pendapat-pendapat dan ijtihad Maududi tentang Jihad.

            Maududi juga menjadi salah seorang tokoh Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Mekah. Yang tidak kalah mengagumkan dari seorang Maududi adalah penguasaanya terhadap terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan gerakan Islam Internasional. Dengan karya terbesarnya Tafhim al-Quran yang memerlukan 30 tahun untuk menyelesaikan, kiranya karya ini akan tetap monumental dan klasik yang menjadi salah satu sumber referensi kaum muslimin dunia, baik puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun kedepan.


3. Karya-Karya:[6]

1. Al-Hukumah al-Islamiyah

2. Hugag Ahl al-Dzimmah fi al-Daulah  al-Islamiyah

3. Minhaj al-Inqilab al-Islami

4. Nazhariyah al-Islam al-Siyasiyah

5. Al-Mabadi al-Asasiyah li al-Daulah al-Islamiyah

6. Al-qanun al-Islami wa Turuq Tanfidzihi

7. Tadwin al-Dustur al-Islami.



     C.    Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi

      1.      Munculnya Gagasan Politik Al-Maududi

Al-Maududi sebagai seorang sosok pemimpin tidak serta merta satu pandangan mengenai perpolitikan yang terjadi di negaranya, india yang tengah bergejolak atas pertentangan politik antara paham yang diaopsi dan dipengaruhi oleh kaum barat liberalis-sekuler  dengan para tokoh Islam fundamentalis. salah satunya adalah al-maududi. Selepas dari penjajahan Inggris yang sama-sama diperjuangkan oleh kaum Hindu dan Islam, Maududi menentang keras pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada umat Islam India baik oleh Partai Kongres di bawah pimpinan Mahatma Gandhi maupun oleh liga Muslim yang dipimpin oleh Ali Jinnah. Ia meliahat akan terjadi ketidakadilan dalam kehidupan umat muslim jika bergabung dengan India yg mayoritas Hindu. Maududi menyatakan bahwa umat Islam di India adalah suatu masyarakat tersendiri yang memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola kehidupan yang khusus, dan antara umat Islam dan umat Hindu terdapat banyak ketidakcocokan yang mendasar. Oleh karenanya menurut Maududi tidak mungkin umat Islam bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara. 

Senada dengan Muhammad Iqbal (1876-1938) mencetuskan ide pemisahan Negara Hindu India dengan Islam. Yaitu ide berdirinya Negara Islam Pakistan. Oleh karena itu, dalam rapat tahunan Liga Muslim tahun 1930, Iqbal mengatakan “Saya ingin melihat Punjab, daerah Perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan, bergabung menjadi satu negara. Di sinilah ide dan tujuan membentuk negara tersendiri di umumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Atas ide tersebut, Iqbal disebut sebagai Bapak Pakistan. Cita-cita ini diwariskan kepada Muhammad Ali Jinnah untuk mewujudkannya dalam kenyataan dengan nama “Pakistan” (singkatan dari Punjab-Afghanistan-Kashmir-Sindi-dan Balukhistan).[7]

Dalam perkembangan politik di Pakistan belum stabil dikarenakan dari sebuah ide dan wacana baru bisa direalisasikan pembentukan Negara Islam tersebut sesuai cita-cita  Muhammad Iqbal namun Allah berkehendak lain, ia Wafat sebulan setelah berdirinya Negara Islam pakistan sehingga ia tidak sempat menyaksikan persmiannya dan menyelesaikan, menyusun kodifikasi hukum Islam, termasuk konstitusi Islam yang ia susun bersama Abul A’la Al-Maududi (1903-1974)[8].

Pada bulan Maret 1948, Maududi dan Jama‟atnya menyelenggarakan pertemuan akbar di Karachi untuk merumuskan atau mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang kemudian terkenal dengan Tuntunan Empat Butir yang bunyinya sebagai berikut:

“Mengingat bahwa mayoritas dari rakyat Pakistan percaya kepada prinsip-prinsip Islam, dan mengingat pula bahwa tujuan semua perjuangan dan pengorbanan mereka dalam mendirikan (negara) Pakistan ialah agar mereka dapat menghayati pola hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini, maka tiap Muslim di Pakistan menuntut kepada majelis konstituante agar mendasarkan undang-undang (Pakistan) atas prinsip-prinsip berikut:

1. Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya Pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan.

2. Syariat Islam merupakan hukum dasar bagi Pakistan.

3. Pembatalam semua undang-undang yang ada bertentangan dengan syariat Islam, dan kemudian menangguhkan semua undang-undang yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

4. Pemerintah Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.”[9]

Undang-Undang Dasar 1956 telah menampung sebagian dari aspirasi Maududi dan Jamiat antara lain dapat dilihat bahwa nama resmi Pakistan adalah “Republik Islam Pakistan”. Kemudian dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar itu dinyatakan bahwa Pakistan adalah suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Pasal 32 menegaskan bahwa kepala negara harus seorang Islam. Pasal 97 menjanjikan pembentukan suatu pusat penelitian Islam dengan tugas membantu melakukan rekonstruksi masyarakat Islam (yang ada) berdasarkan konsepsi Islam yang benar. Yang terakhir adanya satu jaminan dalam pasal 198 bahwa tidak akan diundangkan rancangan undang-undang yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan Hadis Nabi.[10]

Al-Maududi juga menentang gagasan nasionalisme Islam. Menurutnya, gagasan nasionalisme itu adalah sesuatu yang diimpor dari Barat, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dari apa yang dinamakan negara Islam. Nasionalisme Islam, seperti halnya nasinalisme-nasionalisme yang lain, berpangkal pada prinsip kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan Tuhan, dan cenderung kepada sekularisme dan pemisahan antara agama dan negara. 

Sebagaimana dilihat secara historisnya, al-Maududi menghendaki ummat Islam pada zaman modern ini dimana jika umat Islam ingin kembali mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah dilewati pada awal tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah secara mutlak serta mengembalikan sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad modern ini kepada sistem yang telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin.[11] Hal ini terlihat bahwa al-Maududi ingin mengembalikan masa-masa Islam di zaman keemasan dan kemajuan itu di zaman sekarang ini. Sehingga dari pemikiran yang berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi yaitu menjadikan Islam “as way of life” (sebagai jalan hidup)[12] secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam.

Namun, mengacu pada realitas politik yang terjadi di India pada saat al-Maududi masih hidup yaitu sebelum terpisahnya Pakistan dari India, al-Maududi sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Ali Jinnah mengenai “Teori Dua bangsa”, yang menyatakan bahwa umat Islam di India dan umat Hindu memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola ajaran yang berbeda pula, keduanya memiliki ketidakcocokan yang mendasar. Maka dari itu, umat Islam tidak mungkin bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara.

Al-Maududi juga tidak sependapat dengan apa yang diusung oleh Liga Muslim mengenai nasionalisme Pakistan. Menurutnya, ide nasionalisme tidak dikenal dalam Islam, hal tersebut semata-mata merupakan ide impor dari Barat untuk memecah belah kekuatan Islam. Ide nasionalisme telah melanggar prinsip universalisme Islam yang tidak mengenal tapal batas wilayah teritorial.

Bahkan Al-Maududi  menentang tata cara kemerdekaan yang dicapai oleh Pakistan, yang dengan melalui jalan peperangan. Dia lebih menginginkan kemerdekaan melalui jalan revolusi. Revolusi di sini tidak seperti revolusi yang diartikan oleh kelompok sosialis. Revolusi yang dimaksud oleh al-Maududi adalah revolusi secara bertahap melalui jalan perbaikan moral dan akhlak umat Islam, tanpa menggunakan kekerasan. Dengan perbaikan moral dan akhlak umat, maka menurutnya akan menimbulkan kesadaran kolektif dari kalangan umat itu sendiri.

Lantas bagaimana latar belakang al-Maududi dalam pemikiran tentang Negara dan juga politiknya?



     2.      Tata Negara

Pemikiran Maududi banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Setidaknya ada dua yang mempengaruhi pemikiran Maududi yaitu; Pertama, keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk didalamnya umat Islam; dan Kedua, kenyataan dari adanya kelebihan dan kemajuan Barat, yang menjajah India dan sebagian besar dunia Islam.

Dari peristiwa tersebut, terdapat tiga keyakinan atau anggapan yang melandasi pemikiran Maududi tentang kenegaraan menurut Islam. Pertama,Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat, cukup kembali kepada Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al-khulafa al-Rasyidin sebagai model atau contoh sistem kenegaraan menurut Islam. Kedua, kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulata Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Ketiga, sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.

Berdasarkan ketiga acuan diatas, maka dengan sendirinya Maududi mendukung berdirinya nagara Islam agar menjamin pelaksanaan hukum Tuhan di dunia. Sedangkan tentang negara Islam, dalam pandangan Maududi ada sembilan ciri khas dalam negara Islam tersebut, yaitu;

a.       Negara itu didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menundukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam;

b.      Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi didalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi;

c.       Sistem negara Islam bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi yang pelaksanaannya sesuai dengan pendapat rakyat, akan tetapi kecenderungan rakyat diatur dan diluruskan dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya

d.      Sistem negara ini adalah negara yang berdasarkan konsep-konsep yang dikelola orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasannya, namun bagi orang yang memiliki keyakinan yang berbeda merekapun memiliki hak-hak yang sama dengan orang yang meyakini dan menerima prinsip serta gagasan negara;

e.       Negara ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografi. Setiap manusia dimanapun yang dapat menerima prinsip negara ini adalah termasuk warga negara Islam;

f.       Semangat hakiki yang menjiwai negara ini ialah mengikuti akhlak, bukannya mengikuti politik serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya berdasarkan takwa kepada Allah dan takut pada-Nya. Pemilihan para pemimpin dan orang-orang ahl al-halli wa al-’aqd (yang berhak ”melepas dan mengikat”) dalam negara ini adalah: kebersihan akhlak dan kesuciannya disamping kemampuan intelegensia dan fisik;

g.      Sasaran negara ini adalah menyerukan perbuatan kebaikan, melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemunkaran dan memberantas kejahatan serta segala bentuk perusakan;

h.      Nilai-nilai asasi negara ini adalah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan serta pelaksanaan undang-undang, tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, kesadaran akan tanggung jawab dihadapan Allah dan tidak membiarkan tidak terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya;

i.        Ditetapkannya adanya hubungan keseimbangan antara individu dan negara dalam sistem ini, sehingga negara dan penguasa menjadi penguasa mutlak, namun juga tidak memberikan kemerdekaan mutlak tanpa batas kepada individu dan membiarkannya berbuat apa saja.[13]

Kalau diringkas pendapat Maududi, ada 4 ciri negara Islam, yaitu;

     1)      kedaulatan ada di tangan Tuhan;

     2)      Hukum tertinggi dalam negara adalah syari’ah;

     3)      Pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya;

    4)      Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas  yang telah ditetapkan Tuhan.

Kemudian bagaimana tujuan Negara menurut Islam?

Menurut al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan menjalankan syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang harmonis dan maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Allah.

Namun sebagaimana yang dikutip dari buku primer dalam pembuatan makalah ini yang sudah diterjemahkan yaitu al-Khilafah wa al-Mulk karya al-Maududi yang diterjemahkan menjadi Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah pemerintahan Islam, beliau menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya Negara, yaitu:[14]

     a)      Untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat.

   b)      Untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.

   c)      Untuk menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam al-Qur’an.

    d)     Untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.

    e)      Menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.



     3.      Teori Politik Al-Maududi

Sudah jelas bahwa teori politik yang dikembangkan al-maududi adalah teori politik Islam.[15] pendapat-pendapat al-Maududi yang sangat menonjol antara lain; pertama, Asas terpenting dalam Islam adalah tauhid. Seluruh nabi dan rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid. Kedua, sistim politik demokrasi mempunyai kelemahan, yakni kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat, meskipun bukan untuk rakyat melainkan untuk dirinya. Ketiga, penyebab kemerosotan ekonomi adalah egoisme dan sistim politik yang tidak benar. Kelihatannya al-Maududi berjuang mati-matian demi memelihara kumurnian Islam dari pengaruh Barat, apalagi ia hidup ditengah-tengan minoritas umat Islam.

Al-maududi sangat mengecam sistem kerajaan, karena sistem monarki itu cenderung memaksakan kehendaknya ats nama kekuasaan menindas rakyat dalam bidang ekonomi, politik, hukum dll. Sementara pemerintahan yang dikehendaki Islam adalah Theo-Demokrasi.[16]

Theo-Demokrasi dianggap lebih memiliki karakter Islam dan mampu menjamin kemaslahatan manusia. Jika diuraikan dalam makna etimologis, terdapat dua kata, yaitu Teo dan Demokrasi. Tetapi “Teo” disini bukan mengarah pada Teokrasi[17] meskipun pada hakikatnya terma ini diambil dari du aide, yaitu akomodasi ide teokrasi dan ide demokrasi . Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.

            Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[18]

Mengenai teokrasi yang menjadi dasar konsep teo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak al-maududi, terutama teokrasi eropa abad pertengahan yang mendominasi kekuasaan tertinggi dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan. Sedangkan dalam konsep al-maududi bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah. Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God .



     4.      Teori Kekhalifahan

Karena al-Maududi menerapkan system kedaulatan tertinggi adalah Tuhan, maka dari prinsip ini kita dapat menyimpulkan bahwa kedudukan orang-orang yang diberi amanat seperti pemimpin negara, agar dapat melaksanakan hokum-hukum Allah di muka bumi. Dengan itu pula, mereka bisa disebut sebagai wakil Penguasa Tertinggi itu, dan Islam telah dengan tepat memberikan kedudukan ini kepada mereka. teori negara Islam sendiri terdapat dalam al-Qur’an ayat 24; 55:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang telah beramal saleh di antaramu untuk mengangkat mereka sebagai wakil-wakil-Nya yang berkuasa di muka bumi ini, sama seperti mereka yang telah diangkat-Nya  diantara orang-orang (yang hidup) pada masa sebelumnya.”

Ayat tersebut menjelaskan dua hal yang sangat fundamental dapat ditarik sebagai kesimpulan: Pertama, Islam menggunakan istilah kekhilafahan bukan kedaulatan. Sebab, kedaulatan itu hanya dimiliki oleh Allah saja, dan siapa saja yang memegang kekuasaan dan pemerintahan, harus sesuai dengan hokum Allah. Mereka tidak lain hanyalah sebagai wakil atau khalifah dari Penguasa Tertinggi itu dan tidak berhak menjalankan kekuasaan selain yang telah diserahkan kepaddanya. Kedua, kekuasaan untuk memerintah di muka bumi ini dijanjikan kepada masyarakat mu’min secara keseluruhan, dan tidak dinyatakan bahwa kekuasaan itu akan diberikan kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu.[19]

Selain itu, system khilafah sendiri berdasar pada kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang telah terdapat pada diri tiap-tiap manusia. Dengan hal ini, manusia sebagai khalifah mengemban beban sebagai penjaga dan pelestari alam. Dengan begini manusia tidak akan berbuat sekehendak hati mereka –meski pun mereka diberikan kehendak bebas– tanpa  memerdulikan kepentingan orang lain. Karena memang tiap-tiap manusia adalah khalifah yang diberi tanggung jawab menjaga dan melestarikan bumi.



     D.    Kesimpulan

Dari pembahasan diatas akan disimpulkan bahwasanya Abul A'la Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903, yang bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad. Al-Maududi merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya, yang hidup di zaman modern. Sebagaimana tulisan para pembaharu waktu itu, al-Maududi sering memancing para pembacanya untuk berpikir lebih jauh dan juga sering menimbulkan kontroversi. Hingga tidak kurang dari 138 buku yang telah ditulis oleh al-Maududi dan karya-karyanya itu menyangkut permasalahan yang sangat luas di budang sejarah, pendidikan, hukum, politik, ekonomi, modernism, tafsir al-Qur’an, masalah-masalah strategi perjuangan, ibadah dan kedududkan wanita dalam perjuangan dan lain-lain. Namun yang menarik dari tulisan-tulisan al-Maududi adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu sistem atau tata-pikir yang benar-benar terpadu.

Dalam pemikirannya tentang Negara al-Maududi mengemukakan bahwa konsep Negara menurut Abul A’ala Almaududi adalah Negara harus dibangun dengan mencontoh pemerintahan zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang senantiasa kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Inilah yang menjadi rujukan dalam pemikiran al-Maududi. Kemudian pengaruh yang di timbulkan akibat dari pemikiran Abul A’la Al-Maududi adalah banyaknya partai-partai politik yang berasaskan Islam yang beri’tiqat menjadikan Negara Indonesia berasaskan Islam. Misalnya ada partai PKS (Partai Kebangkitan Sejahtera), dan juga ada organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam misalnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan sebagainya. Terlihat jelas bahwa pemikiran al-maududi ini berpengaruh yang sangat besar di dunia termasuk Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA



Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan, cet. I, Jakarta :

Al-Maududi, Abu al-A’la, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas SejarahPemerintahan Islam , penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Maududi, Abu al-A’la, Langkah-langkah Pembaharuan Islam, penerjemah

Azra, Azzumardi. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme

            Dadang Kahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984.

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 3, cet. 9 Jakarta : PT. Ichtiat

Donohue, John  J. dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah Machnun Husein, Jakarta: Rajawali,1984.

            Edisi5, Jakarta: UI Press, 1993.

Farhan Daftari, Tradisi-tradisi intelektual islam, Jakarta,:Erlangga, 2002.

 hingga Postmodernisme, cet. I, Jakarta : Paramadina, 1996

http://hamzah-harun.blogspot.com. Diakses pada tanggal 20 November 2013

Jakarta : Bulan Bintang, 1975

 Mizan, 1996.


Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I Jakarta : UI

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan

 Press, 1978

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

            Van Hoeve, 2001.

www.amrizalulya.wordpress. Diakses pada tanggal 19 November 2013




[2]Abu Al-A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, penerjemah, Muhammad al-Baqir, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) h.7.

[3] Ibid, h. 7
[4] Tokoh terkenal gerakan khilafah dan kemerdekaan.
[5] Ibid, h. 9
[6] www.amrizalulya.wordpress
[7] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h 187.
[8]  Abu al-A‟la al-Maududi,Hukum dan Konstitusi Sistim Politik Islam, cet I, (Bandung : Mizan, 1410 H/1990 M), h. 17.
[9]  Munawir Syadzali,. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi5, Jakarta: UI Press, 1993.h. 164
[10] Ibid, h. 165.
[11] Farhan Daftari, Tradisi-tradisi intelektual Islam, (Jakarta,:Erlangga, 2002 ), h. 296 
[12] Mohamed Mahmud dkk, Pemikiran Islam,(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 10
[14] Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah Pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), cet. VI, h.31
[15]  Prinsip-prinsip berperlembagaan atau nilai-nilai politikIslam memperoleh kekuasaan perundangan atau mengikat ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah karena kedua-duanyan adalah sumber asas dari semua undang-undang Islam dalam semua aspek kehidupan.Lihat Muhammad S El-Hawa, Fi al-Nidzam al-Siyasi li al-Daulah al-Islamiyah diterjemahkan oleh Mohd Isa Che Dir dengan judul Sistim Politik Negara Islam, cet. I, (Selangor Daral-Ihsan : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), h. 91
[16] Rais, Amien, Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cet VII, (Bandung : Mizan, 1998), h. 12 
[17]teokrasi adalah pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hukum Tuhan (agama) bertentangan dengan demokrasi ala Barat Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya : Arkola, 2001), h. 745  
[18] Perbedaan terpenting antara sistim Islam dan sistim Demokrasi adalah dalam tiga unsure yaitu pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyatatau bangsa dalam sistim demokrasi modern dalam dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup territorial geografis yang hidup dalam daerah tertentu, dan disatukan oleh ikatan-ikatan daerah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama. Sedangkan Islam tidak seperti itu. Kedua, tujuan demokrasi Barat modern atau demokrasi apapun pada masa lalu adalah untuk kepentingan dunia materi. Namun tujuan-tujuan demokrasi Islam disamping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga menjauhkan pemikiran keberpihakan nasional, juga membidik tujuan-tujuan rohani bahkan itulah yang mendasar. Ketiga, kekuasaan umat (rakyat) dalam demokrasi Barat bersifat mutlak. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan umat (rakyat) tidak semutlak itu. Lihat Muhammad Dhiauddin Rais, al-Nazhariyat al-Siyasah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dengan judul Teori Politik Islam, cet I, (Jakarta : Gema Insani Press, 1421 H/2001 M), h. 311 
[19] John  J. Donohue, dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah Machnun Husein (Jakarta: Rajawali,1984), hlm. 476-477

1 komentar:

Unknown mengatakan...

alhamdulilah membantu sekali
\
\
penjual jersey murah www.okeorder.com

Posting Komentar

Sabtu, 30 November 2013

SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI

Diposting oleh Unknown di 06.54


SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI

     A.    Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang kaya akan potensi sumber daya alam. Namun ternyata itu semua tidak menjamin rakyatnya untuk mencapai kepada taraf kemakmuran. Warga negara yang berdiam di negara ini, cenderung miskin dan masih dalam kebodohan. Rupa-rupanya pergantian pemimpin Indonesia pun tidak mampu untuk memecahkan permasalahan yang sangat pelik ini. Kebanyakan  pemimpin dan wakil rakyat yang ada sekarang tidak mengerti tentang persoalan-persoalan yang terjadi dalam negara ini. Akibatnya mereka tidak bisa memecahkan setiap permasalahan yang ada.

Mungkin inilah yang disebut pemimpin yang buta teori politik, sehingga yang mereka incar selama ini adalah bagaimana ia bisa lama berkuasa dan seberapa banyak keuntungan yang akan ia peroleh jika menjadi pemimpin negara. Inilah perbincangan menarik yang terjadi dalam beberapa bulan kedepan sebelum pelaksanaan Pemilu 2014. Namun disini, kami tidak akan membahas permasalahan itu. Kami akan membahas mengenai teori politik Abu al-A’la al-Maududi.

Al-Maududi adalah seorang politkus Islam yang berasal dari India, ia sangat mengidealkan sistem politik Islam pada masa nabi dan para Khulafaurrasyidin yang diangggap sebagai sistem politik yang Islami. Dia menolak tegas ide-ide yang berasal dari Barat, seperti nasionalisme, demokrasi, dan sekularisasi. Dengan kata lain, al-Maududi mencoba melawan arus modernisasi  dengan mengembalikannya kepada sistem khilafah pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.Realitas sosial di era modern yang tentunya sangat berbeda dengan zaman Nabi dan sahabat, dan usaha pemaksaanya pada romantisme masa lalu inilah yang menjadi titik kritik dari pemikiran al-Maududi. Dimana al-Maududi dalam teori politiknya membahas mengenai negara ideal dan keriteria pemimpin yang ideal. Tapi sebelum itu, kita akan membahas biografi dari al-Maududi, agar kita tahu pengaruh apa saja yang telah membuat ia mencetuskan teori politiknya. Untuk lebih jelasnya marilah kita mulai menuju pada pembahasan teori politik Abu al-A’la al-Maududi.



    B.     Biografi dan Karya Tulis Abu Al-A’la Al-Maududi

     1.      Riwayat Hidup dan wafatnya

            Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi dikenal juga sebagai Maulana atau Syekh Sayyid Abu A’la Maududi.[1] Ia lahir pada tanggal 3 Rajab 1321, atau bertepatan dengan 25 September 1903, di Aurangbad, yakni salah satu kota terkenal di daerah yang kini dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ayahnya lahir pada tahun 1844 ia adalah seorang ahli hukum yang sangat taat kepada ajaran-ajaran Islam. Al-Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara.[2]

            Namun sayang pada tahun 1953 al-Maududi dijatuhi hukuman mati karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan sekte Ahmadiyah Qadiani, dengan gembira ia memilih mati dari pada naik banding, dan ia pun sempat mengatakan kepada anak dan para sahabtnya: “jika ajal saya telah datang, maka tidak seorang pun dapat mencegahnya, namun bila ajal itu belum datang, mereka tidak dapat menggantung saya, walaupun mereka menggantung diri mereka sendiri untuk menggantung saya.” Dengan keteguhan yang demikian pemerintah tergoncang disamping mendapat tekanan dari dalam dan luar negri, dan pada akhirnya al-Maududi dijatuhi hukuman seumur hidup.

    
    2.      Riwayat Pendidikan

            Pendidikan awal Abu Al-A’la Al-Maududi diperoleh dari ayahnya sendiri yangbernama Ahmad Hasan di rumahnya, kemudian  Abu Al-A’la Al-Maududi melanjutkan pendidikannya di madrasah Fauqaniyah, sebuah sekolah tinggi yang terkenal di hyderabad yang di sebut “Madrasah” yakni suatu sekolah yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam Tradisional, kemudian ia melanjutkan belajar di Darul ‘Ulum di Hyderabad, namun ia hanya belajar sebentar di sini karena ayahnya yang sedang sakit, dan kemudian wafat.[3] Setelah itu pendidikan formalnya terhenti.

            Namun dengan ketekunannya ia tetap bisa melanjutkan pelajaran-pelajarannya di luar lembaga pendidikan formal, pada awal 1920-an Al-Maududi mahir berbahasa Arab, bahasa Persia, bahasa inggris, dan bahasa Urdu yang merupakan bahasa ibunya.

            Dapat dikatakan bahwa sebagian besar ilmu yang diperoleh Al-Maududi diterima dari bimbingannya dengan para sarjana yang tangguh dilingkungannya kala itu. sejak muda al-Mududi telah menyukai jurnalisme, dan ketika usianya 20 tahun dia telah menjadi editor beberapa mass media. Tidak hanya itu pada usia yang relatif muda ini pun, muncul minat al-Maududi terhadap politik. Dalam usia ini pula al-Maududi menerbitkan buku karyanya yang fenomenal berjudul al-Jihad fil Islam, suatu buku yang sangat cermat dan tajam mengenai hukum Islam dalam perang dan damai. Karyanya ini memperoleh perhatian yang sangat besar dan penilaian yang sangat tinggi dari dunia akademik pada waktu itu, seperti Sir Muhammad Iqbal dan Maulana Muhammad Ali Jauhar[4]  memberikan pujian yang sangat tinggi pada buku tersebut. Bahkan buku yang di tulis pada usia 20 tahun itu sampai sekarang tetap dinilai sebagai karya Al-Maududi yang berharga.

            Pada tahun 1933 al-Maududi lebih banyak menghabiskan waktu untk menulis tentang berbagai massalah dan mulai menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Quran yang  menjadi sarana penyalur gagasan-gagasannya. Pada tahun ini pula tulisan-tulisan al-Maududi membanjir, dan sebagian besar dari tulisannya mencoba memecahkan masalah politik dan budaya yang di alami kaum muslimin India, tentunya semua itu dtinjau dari sudut pandang Islam.

            Dengan membaca gagasan-gagasan yang di usung oleh al-Maududi, Muhammad Iqbal membujuknya agar berpindah tempat dari Hydearabad dan tinggal di distrik Phatankot, suatu daerah dibagian timur Punjab, di sana al-Maududi bekerjasama dengan Muhammad Iqbal mendirikan Dar al-Islam  yaknni suatu pusat riset, dengan maksud untuk mendidik para sarjana Islam agar mereka dapat berkarya secara positif dalam berkhidmat pada Islam, terutama untuk melakukan rekontruksi syariat Islam.

            Pada awal tahun 1940 Maududi mendirikan gerakan Islam yang dipimpinnya sendiri, yakni  Gerakan Jama’ati Islam ini pada hakikatnya adalah gerakan kader-kader Islam dan tidak pernah menjadi gerakan massa.  [5]

            Ketika negara Pakistan lahir sekitar tahun 1947, Maududi segera pindah ke Pakistan dan mulai memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut mendirikan negara Islam yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. untuk mencapai tujuan tersebut al-Maududi menulis banyak terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial politik. Kiranya sudah jelas dengan gagasan-gagasan yang diusung oleh Maududi tentunya tidak berjalan mulus karena sering berbenturan dengan kebijaksanaan Islam, yang oleh Maududi dipandang sebagai meninggalkanya cita-cita didirikannya negara Pakistan. Oleh karena itu ia sering keluar masuk penjara yang sudah tidak asing lagi baginya. Dengan tekad yang keras dan teguh pada pendiriannya, ia sangat dikagumi baik oleh teman atau pun lawannya.

            Selama kurun waktu 60 tahun al-Maududi tidak pernah berhenti menyuarakan dan menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat manusia modern yang tengah dilanda kebingungan ideologis, filsafi, dan sosial-politik. Ia sepanjang hayatnya ia mengabdikan hidupnya untuk agama dan umat Islam dunia.

            Diakui bahwa al-Maududi adalah pemikir  Islam yang besar dari sub konten Indo-Pakistan. Bahkan seorang Sayyid Qutb, mufassir modern telah menyediakan halaman dari kitab tafsir Fi Dzilalil Quran untuk mengabdikan pendapat-pendapat dan ijtihad Maududi tentang Jihad.

            Maududi juga menjadi salah seorang tokoh Rabithah al-‘Alam al-Islami yang berpusat di Mekah. Yang tidak kalah mengagumkan dari seorang Maududi adalah penguasaanya terhadap terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan gerakan Islam Internasional. Dengan karya terbesarnya Tafhim al-Quran yang memerlukan 30 tahun untuk menyelesaikan, kiranya karya ini akan tetap monumental dan klasik yang menjadi salah satu sumber referensi kaum muslimin dunia, baik puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun kedepan.


3. Karya-Karya:[6]

1. Al-Hukumah al-Islamiyah

2. Hugag Ahl al-Dzimmah fi al-Daulah  al-Islamiyah

3. Minhaj al-Inqilab al-Islami

4. Nazhariyah al-Islam al-Siyasiyah

5. Al-Mabadi al-Asasiyah li al-Daulah al-Islamiyah

6. Al-qanun al-Islami wa Turuq Tanfidzihi

7. Tadwin al-Dustur al-Islami.



     C.    Pemikiran Politik Abul A’la Al-Maududi

      1.      Munculnya Gagasan Politik Al-Maududi

Al-Maududi sebagai seorang sosok pemimpin tidak serta merta satu pandangan mengenai perpolitikan yang terjadi di negaranya, india yang tengah bergejolak atas pertentangan politik antara paham yang diaopsi dan dipengaruhi oleh kaum barat liberalis-sekuler  dengan para tokoh Islam fundamentalis. salah satunya adalah al-maududi. Selepas dari penjajahan Inggris yang sama-sama diperjuangkan oleh kaum Hindu dan Islam, Maududi menentang keras pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada umat Islam India baik oleh Partai Kongres di bawah pimpinan Mahatma Gandhi maupun oleh liga Muslim yang dipimpin oleh Ali Jinnah. Ia meliahat akan terjadi ketidakadilan dalam kehidupan umat muslim jika bergabung dengan India yg mayoritas Hindu. Maududi menyatakan bahwa umat Islam di India adalah suatu masyarakat tersendiri yang memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola kehidupan yang khusus, dan antara umat Islam dan umat Hindu terdapat banyak ketidakcocokan yang mendasar. Oleh karenanya menurut Maududi tidak mungkin umat Islam bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara. 

Senada dengan Muhammad Iqbal (1876-1938) mencetuskan ide pemisahan Negara Hindu India dengan Islam. Yaitu ide berdirinya Negara Islam Pakistan. Oleh karena itu, dalam rapat tahunan Liga Muslim tahun 1930, Iqbal mengatakan “Saya ingin melihat Punjab, daerah Perbatasan Utara, Sindi dan Balukhistan, bergabung menjadi satu negara. Di sinilah ide dan tujuan membentuk negara tersendiri di umumkan secara resmi dan kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Atas ide tersebut, Iqbal disebut sebagai Bapak Pakistan. Cita-cita ini diwariskan kepada Muhammad Ali Jinnah untuk mewujudkannya dalam kenyataan dengan nama “Pakistan” (singkatan dari Punjab-Afghanistan-Kashmir-Sindi-dan Balukhistan).[7]

Dalam perkembangan politik di Pakistan belum stabil dikarenakan dari sebuah ide dan wacana baru bisa direalisasikan pembentukan Negara Islam tersebut sesuai cita-cita  Muhammad Iqbal namun Allah berkehendak lain, ia Wafat sebulan setelah berdirinya Negara Islam pakistan sehingga ia tidak sempat menyaksikan persmiannya dan menyelesaikan, menyusun kodifikasi hukum Islam, termasuk konstitusi Islam yang ia susun bersama Abul A’la Al-Maududi (1903-1974)[8].

Pada bulan Maret 1948, Maududi dan Jama‟atnya menyelenggarakan pertemuan akbar di Karachi untuk merumuskan atau mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang kemudian terkenal dengan Tuntunan Empat Butir yang bunyinya sebagai berikut:

“Mengingat bahwa mayoritas dari rakyat Pakistan percaya kepada prinsip-prinsip Islam, dan mengingat pula bahwa tujuan semua perjuangan dan pengorbanan mereka dalam mendirikan (negara) Pakistan ialah agar mereka dapat menghayati pola hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini, maka tiap Muslim di Pakistan menuntut kepada majelis konstituante agar mendasarkan undang-undang (Pakistan) atas prinsip-prinsip berikut:

1. Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya Pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan.

2. Syariat Islam merupakan hukum dasar bagi Pakistan.

3. Pembatalam semua undang-undang yang ada bertentangan dengan syariat Islam, dan kemudian menangguhkan semua undang-undang yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

4. Pemerintah Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.”[9]

Undang-Undang Dasar 1956 telah menampung sebagian dari aspirasi Maududi dan Jamiat antara lain dapat dilihat bahwa nama resmi Pakistan adalah “Republik Islam Pakistan”. Kemudian dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar itu dinyatakan bahwa Pakistan adalah suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Pasal 32 menegaskan bahwa kepala negara harus seorang Islam. Pasal 97 menjanjikan pembentukan suatu pusat penelitian Islam dengan tugas membantu melakukan rekonstruksi masyarakat Islam (yang ada) berdasarkan konsepsi Islam yang benar. Yang terakhir adanya satu jaminan dalam pasal 198 bahwa tidak akan diundangkan rancangan undang-undang yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan Hadis Nabi.[10]

Al-Maududi juga menentang gagasan nasionalisme Islam. Menurutnya, gagasan nasionalisme itu adalah sesuatu yang diimpor dari Barat, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai dasar dari apa yang dinamakan negara Islam. Nasionalisme Islam, seperti halnya nasinalisme-nasionalisme yang lain, berpangkal pada prinsip kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan Tuhan, dan cenderung kepada sekularisme dan pemisahan antara agama dan negara. 

Sebagaimana dilihat secara historisnya, al-Maududi menghendaki ummat Islam pada zaman modern ini dimana jika umat Islam ingin kembali mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah dilewati pada awal tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah secara mutlak serta mengembalikan sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad modern ini kepada sistem yang telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin.[11] Hal ini terlihat bahwa al-Maududi ingin mengembalikan masa-masa Islam di zaman keemasan dan kemajuan itu di zaman sekarang ini. Sehingga dari pemikiran yang berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi yaitu menjadikan Islam “as way of life” (sebagai jalan hidup)[12] secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam.

Namun, mengacu pada realitas politik yang terjadi di India pada saat al-Maududi masih hidup yaitu sebelum terpisahnya Pakistan dari India, al-Maududi sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Ali Jinnah mengenai “Teori Dua bangsa”, yang menyatakan bahwa umat Islam di India dan umat Hindu memiliki tata nilai moral yang berbeda dan pola ajaran yang berbeda pula, keduanya memiliki ketidakcocokan yang mendasar. Maka dari itu, umat Islam tidak mungkin bergabung dengan umat Hindu dalam satu negara.

Al-Maududi juga tidak sependapat dengan apa yang diusung oleh Liga Muslim mengenai nasionalisme Pakistan. Menurutnya, ide nasionalisme tidak dikenal dalam Islam, hal tersebut semata-mata merupakan ide impor dari Barat untuk memecah belah kekuatan Islam. Ide nasionalisme telah melanggar prinsip universalisme Islam yang tidak mengenal tapal batas wilayah teritorial.

Bahkan Al-Maududi  menentang tata cara kemerdekaan yang dicapai oleh Pakistan, yang dengan melalui jalan peperangan. Dia lebih menginginkan kemerdekaan melalui jalan revolusi. Revolusi di sini tidak seperti revolusi yang diartikan oleh kelompok sosialis. Revolusi yang dimaksud oleh al-Maududi adalah revolusi secara bertahap melalui jalan perbaikan moral dan akhlak umat Islam, tanpa menggunakan kekerasan. Dengan perbaikan moral dan akhlak umat, maka menurutnya akan menimbulkan kesadaran kolektif dari kalangan umat itu sendiri.

Lantas bagaimana latar belakang al-Maududi dalam pemikiran tentang Negara dan juga politiknya?



     2.      Tata Negara

Pemikiran Maududi banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Setidaknya ada dua yang mempengaruhi pemikiran Maududi yaitu; Pertama, keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk didalamnya umat Islam; dan Kedua, kenyataan dari adanya kelebihan dan kemajuan Barat, yang menjajah India dan sebagian besar dunia Islam.

Dari peristiwa tersebut, terdapat tiga keyakinan atau anggapan yang melandasi pemikiran Maududi tentang kenegaraan menurut Islam. Pertama,Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat, cukup kembali kepada Islam dengan menunjuk kepada pola semasa al-khulafa al-Rasyidin sebagai model atau contoh sistem kenegaraan menurut Islam. Kedua, kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana kedaulata Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Ketiga, sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.

Berdasarkan ketiga acuan diatas, maka dengan sendirinya Maududi mendukung berdirinya nagara Islam agar menjamin pelaksanaan hukum Tuhan di dunia. Sedangkan tentang negara Islam, dalam pandangan Maududi ada sembilan ciri khas dalam negara Islam tersebut, yaitu;

a.       Negara itu didirikan atas dasar kesadaran suatu bangsa yang merdeka dan bersedia menundukkan kepalanya secara sukarela kepada Tuhan semesta alam;

b.      Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi didalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai suatu batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi;

c.       Sistem negara Islam bersesuaian dengan pokok-pokok demokrasi yang pelaksanaannya sesuai dengan pendapat rakyat, akan tetapi kecenderungan rakyat diatur dan diluruskan dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya

d.      Sistem negara ini adalah negara yang berdasarkan konsep-konsep yang dikelola orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima gagasannya, namun bagi orang yang memiliki keyakinan yang berbeda merekapun memiliki hak-hak yang sama dengan orang yang meyakini dan menerima prinsip serta gagasan negara;

e.       Negara ini berdiri atas dasar ideologi semata-mata dan tidak atas ikatan-ikatan warna, ras, bahasa atau batas-batas geografi. Setiap manusia dimanapun yang dapat menerima prinsip negara ini adalah termasuk warga negara Islam;

f.       Semangat hakiki yang menjiwai negara ini ialah mengikuti akhlak, bukannya mengikuti politik serta tujuan-tujuannya, serta menjalankan urusan-urusannya berdasarkan takwa kepada Allah dan takut pada-Nya. Pemilihan para pemimpin dan orang-orang ahl al-halli wa al-’aqd (yang berhak ”melepas dan mengikat”) dalam negara ini adalah: kebersihan akhlak dan kesuciannya disamping kemampuan intelegensia dan fisik;

g.      Sasaran negara ini adalah menyerukan perbuatan kebaikan, melaksanakan keadilan sosial, menyuburkan kebajikan, mencegah kemunkaran dan memberantas kejahatan serta segala bentuk perusakan;

h.      Nilai-nilai asasi negara ini adalah persamaan hak, kedudukan dan kesempatan serta pelaksanaan undang-undang, tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, kesadaran akan tanggung jawab dihadapan Allah dan tidak membiarkan tidak terpenuhinya kebutuhan asasi rakyatnya;

i.        Ditetapkannya adanya hubungan keseimbangan antara individu dan negara dalam sistem ini, sehingga negara dan penguasa menjadi penguasa mutlak, namun juga tidak memberikan kemerdekaan mutlak tanpa batas kepada individu dan membiarkannya berbuat apa saja.[13]

Kalau diringkas pendapat Maududi, ada 4 ciri negara Islam, yaitu;

     1)      kedaulatan ada di tangan Tuhan;

     2)      Hukum tertinggi dalam negara adalah syari’ah;

     3)      Pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya;

    4)      Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas  yang telah ditetapkan Tuhan.

Kemudian bagaimana tujuan Negara menurut Islam?

Menurut al-Maududi, tujuan dibentuknya negara Islam adalah tidak lain untuk menegakkan syariat Allah. Negara juga bertujuan untuk menuntun masyarakat muslim untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah dalam syariatnya. Dengan menjalankan syariatnya, maka menurutnya akan tercipta masyarakat Islam yang harmonis dan maju, serta tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan oleh Allah.

Namun sebagaimana yang dikutip dari buku primer dalam pembuatan makalah ini yang sudah diterjemahkan yaitu al-Khilafah wa al-Mulk karya al-Maududi yang diterjemahkan menjadi Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah pemerintahan Islam, beliau menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya Negara, yaitu:[14]

     a)      Untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar manusia, antar-kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat.

   b)      Untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga dan melindungi seluruh warga Negara dari invasi asing.

   c)      Untuk menegakkan system keadilan social yang seimbang sebagaimana dihendaki dalam al-Qur’an.

    d)     Untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-Qur’an.

    e)      Menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.



     3.      Teori Politik Al-Maududi

Sudah jelas bahwa teori politik yang dikembangkan al-maududi adalah teori politik Islam.[15] pendapat-pendapat al-Maududi yang sangat menonjol antara lain; pertama, Asas terpenting dalam Islam adalah tauhid. Seluruh nabi dan rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid. Kedua, sistim politik demokrasi mempunyai kelemahan, yakni kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat, meskipun bukan untuk rakyat melainkan untuk dirinya. Ketiga, penyebab kemerosotan ekonomi adalah egoisme dan sistim politik yang tidak benar. Kelihatannya al-Maududi berjuang mati-matian demi memelihara kumurnian Islam dari pengaruh Barat, apalagi ia hidup ditengah-tengan minoritas umat Islam.

Al-maududi sangat mengecam sistem kerajaan, karena sistem monarki itu cenderung memaksakan kehendaknya ats nama kekuasaan menindas rakyat dalam bidang ekonomi, politik, hukum dll. Sementara pemerintahan yang dikehendaki Islam adalah Theo-Demokrasi.[16]

Theo-Demokrasi dianggap lebih memiliki karakter Islam dan mampu menjamin kemaslahatan manusia. Jika diuraikan dalam makna etimologis, terdapat dua kata, yaitu Teo dan Demokrasi. Tetapi “Teo” disini bukan mengarah pada Teokrasi[17] meskipun pada hakikatnya terma ini diambil dari du aide, yaitu akomodasi ide teokrasi dan ide demokrasi . Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.

            Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.[18]

Mengenai teokrasi yang menjadi dasar konsep teo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak al-maududi, terutama teokrasi eropa abad pertengahan yang mendominasi kekuasaan tertinggi dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan. Sedangkan dalam konsep al-maududi bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah. Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God .



     4.      Teori Kekhalifahan

Karena al-Maududi menerapkan system kedaulatan tertinggi adalah Tuhan, maka dari prinsip ini kita dapat menyimpulkan bahwa kedudukan orang-orang yang diberi amanat seperti pemimpin negara, agar dapat melaksanakan hokum-hukum Allah di muka bumi. Dengan itu pula, mereka bisa disebut sebagai wakil Penguasa Tertinggi itu, dan Islam telah dengan tepat memberikan kedudukan ini kepada mereka. teori negara Islam sendiri terdapat dalam al-Qur’an ayat 24; 55:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang telah beramal saleh di antaramu untuk mengangkat mereka sebagai wakil-wakil-Nya yang berkuasa di muka bumi ini, sama seperti mereka yang telah diangkat-Nya  diantara orang-orang (yang hidup) pada masa sebelumnya.”

Ayat tersebut menjelaskan dua hal yang sangat fundamental dapat ditarik sebagai kesimpulan: Pertama, Islam menggunakan istilah kekhilafahan bukan kedaulatan. Sebab, kedaulatan itu hanya dimiliki oleh Allah saja, dan siapa saja yang memegang kekuasaan dan pemerintahan, harus sesuai dengan hokum Allah. Mereka tidak lain hanyalah sebagai wakil atau khalifah dari Penguasa Tertinggi itu dan tidak berhak menjalankan kekuasaan selain yang telah diserahkan kepaddanya. Kedua, kekuasaan untuk memerintah di muka bumi ini dijanjikan kepada masyarakat mu’min secara keseluruhan, dan tidak dinyatakan bahwa kekuasaan itu akan diberikan kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu.[19]

Selain itu, system khilafah sendiri berdasar pada kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang telah terdapat pada diri tiap-tiap manusia. Dengan hal ini, manusia sebagai khalifah mengemban beban sebagai penjaga dan pelestari alam. Dengan begini manusia tidak akan berbuat sekehendak hati mereka –meski pun mereka diberikan kehendak bebas– tanpa  memerdulikan kepentingan orang lain. Karena memang tiap-tiap manusia adalah khalifah yang diberi tanggung jawab menjaga dan melestarikan bumi.



     D.    Kesimpulan

Dari pembahasan diatas akan disimpulkan bahwasanya Abul A'la Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903, yang bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad. Al-Maududi merupakan tokoh yang paling produktif mengeluarkan ide-ide pembaharuannya, yang hidup di zaman modern. Sebagaimana tulisan para pembaharu waktu itu, al-Maududi sering memancing para pembacanya untuk berpikir lebih jauh dan juga sering menimbulkan kontroversi. Hingga tidak kurang dari 138 buku yang telah ditulis oleh al-Maududi dan karya-karyanya itu menyangkut permasalahan yang sangat luas di budang sejarah, pendidikan, hukum, politik, ekonomi, modernism, tafsir al-Qur’an, masalah-masalah strategi perjuangan, ibadah dan kedududkan wanita dalam perjuangan dan lain-lain. Namun yang menarik dari tulisan-tulisan al-Maududi adalah konsistensi pemikirannya dan kemampuannya untuk menggabungkan dan menjalin seluruh pemikiran pembaharuannya menjadi suatu sistem atau tata-pikir yang benar-benar terpadu.

Dalam pemikirannya tentang Negara al-Maududi mengemukakan bahwa konsep Negara menurut Abul A’ala Almaududi adalah Negara harus dibangun dengan mencontoh pemerintahan zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang senantiasa kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Inilah yang menjadi rujukan dalam pemikiran al-Maududi. Kemudian pengaruh yang di timbulkan akibat dari pemikiran Abul A’la Al-Maududi adalah banyaknya partai-partai politik yang berasaskan Islam yang beri’tiqat menjadikan Negara Indonesia berasaskan Islam. Misalnya ada partai PKS (Partai Kebangkitan Sejahtera), dan juga ada organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam misalnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan sebagainya. Terlihat jelas bahwa pemikiran al-maududi ini berpengaruh yang sangat besar di dunia termasuk Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA



Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di India dan Pakistan, cet. I, Jakarta :

Al-Maududi, Abu al-A’la, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas SejarahPemerintahan Islam , penerjemah Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Maududi, Abu al-A’la, Langkah-langkah Pembaharuan Islam, penerjemah

Azra, Azzumardi. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme

            Dadang Kahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984.

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 3, cet. 9 Jakarta : PT. Ichtiat

Donohue, John  J. dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah Machnun Husein, Jakarta: Rajawali,1984.

            Edisi5, Jakarta: UI Press, 1993.

Farhan Daftari, Tradisi-tradisi intelektual islam, Jakarta,:Erlangga, 2002.

 hingga Postmodernisme, cet. I, Jakarta : Paramadina, 1996

http://hamzah-harun.blogspot.com. Diakses pada tanggal 20 November 2013

Jakarta : Bulan Bintang, 1975

 Mizan, 1996.


Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I Jakarta : UI

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan

 Press, 1978

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

            Van Hoeve, 2001.

www.amrizalulya.wordpress. Diakses pada tanggal 19 November 2013




[2]Abu Al-A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, penerjemah, Muhammad al-Baqir, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) h.7.

[3] Ibid, h. 7
[4] Tokoh terkenal gerakan khilafah dan kemerdekaan.
[5] Ibid, h. 9
[6] www.amrizalulya.wordpress
[7] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h 187.
[8]  Abu al-A‟la al-Maududi,Hukum dan Konstitusi Sistim Politik Islam, cet I, (Bandung : Mizan, 1410 H/1990 M), h. 17.
[9]  Munawir Syadzali,. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi5, Jakarta: UI Press, 1993.h. 164
[10] Ibid, h. 165.
[11] Farhan Daftari, Tradisi-tradisi intelektual Islam, (Jakarta,:Erlangga, 2002 ), h. 296 
[12] Mohamed Mahmud dkk, Pemikiran Islam,(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 10
[14] Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas sejarah Pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), cet. VI, h.31
[15]  Prinsip-prinsip berperlembagaan atau nilai-nilai politikIslam memperoleh kekuasaan perundangan atau mengikat ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah karena kedua-duanyan adalah sumber asas dari semua undang-undang Islam dalam semua aspek kehidupan.Lihat Muhammad S El-Hawa, Fi al-Nidzam al-Siyasi li al-Daulah al-Islamiyah diterjemahkan oleh Mohd Isa Che Dir dengan judul Sistim Politik Negara Islam, cet. I, (Selangor Daral-Ihsan : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), h. 91
[16] Rais, Amien, Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cet VII, (Bandung : Mizan, 1998), h. 12 
[17]teokrasi adalah pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hukum Tuhan (agama) bertentangan dengan demokrasi ala Barat Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya : Arkola, 2001), h. 745  
[18] Perbedaan terpenting antara sistim Islam dan sistim Demokrasi adalah dalam tiga unsure yaitu pertama, yang dimaksud dengan istilah rakyatatau bangsa dalam sistim demokrasi modern dalam dunia Barat adalah rakyat yang terbatas pada lingkup territorial geografis yang hidup dalam daerah tertentu, dan disatukan oleh ikatan-ikatan daerah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama. Sedangkan Islam tidak seperti itu. Kedua, tujuan demokrasi Barat modern atau demokrasi apapun pada masa lalu adalah untuk kepentingan dunia materi. Namun tujuan-tujuan demokrasi Islam disamping mencakup tujuan-tujuan duniawi juga menjauhkan pemikiran keberpihakan nasional, juga membidik tujuan-tujuan rohani bahkan itulah yang mendasar. Ketiga, kekuasaan umat (rakyat) dalam demokrasi Barat bersifat mutlak. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan umat (rakyat) tidak semutlak itu. Lihat Muhammad Dhiauddin Rais, al-Nazhariyat al-Siyasah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dengan judul Teori Politik Islam, cet I, (Jakarta : Gema Insani Press, 1421 H/2001 M), h. 311 
[19] John  J. Donohue, dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, penerjemah Machnun Husein (Jakarta: Rajawali,1984), hlm. 476-477

1 komentar on "SAYYID ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI "

Unknown on 24 November 2015 pukul 07.11 mengatakan...

alhamdulilah membantu sekali
\
\
penjual jersey murah www.okeorder.com

Posting Komentar

 
Copyright NINA NURMILAH 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .