Senin, 24 Juni 2013

PENGALAMAN ESTETIS DAN RELIGIUS



A.    Pendahuluan
Sebelumnya kita telah sama-sama mempelajari estetika, baik itu pengertian estetika, estetika masa klasik atau modern,  bahkan aliran-aliran dalam estetika. Namun kali ini kami akan membahas tentang materi yang berbeda yaitu tentang pengalaman estetis dan religius.  
Sedikit kita ulas pembahasan kemarin bahwa estetika sebagai ilmu normatif sebanding dengan etika, bahkan lebih berpengaruh dari pada logika. Karena seni itu sendiri merupakan nilai yang besar peranannya dalam kehidupan. Bahkan orang membandingkan nilai bagus (estetika) dengan nilai benar (etika). Malahan kita juga sering mendengar ungkapan orang yang menandakan rasa ketakjuban misalnya: Alangkah indahnya! Atau bagus amat! Dibanding ungkapan: Alangkah benarnya! Atau Baik amat! Apalagi masalah perasaan yang mungkin banyak dirasakan oleh anak muda sekarang, ketika laki-laki tertarik pada perempuan, melihat dari pandangan pertama. Kebanyakan mereka menumpahkan perhatiannya pada keindahan bentuk atau rupa, kecantikannyakah atau mungkin perempuan itu menawan untuknya, daripada moral atau tingkah lakunya.
Istilah estetika baru muncul pada abad ke-18, meskipun sejarah yang mengacu pada estetika adalah setua sejarah etika, logika, metafisika, dan epistemologi. Filsuf Alexander Baumgarten-lah yang memperkenalkannya di tahun 1750 yang berkecenderungan pada wilayah filsafat. Dengan menggunakan kata Yunani aisthetikos yang berarti ‘persepsi indrawi’, Baumgarten bermaksud menciptakan ilmu pengetahuan tentang keindahan yang didasarkan pada persepsi indrawi.  Peralihan perhatian dari benda-benda menjadi persepsi atas benda-benda, dari objek ke subjek, ditandai oleh perhatian Baumgarten pada pengalaman indrawi, yang menunjukkan bahwa posisi sentral dari pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui suatu benda indah atau jelek?” mulai digantikan oleh pertanyaan, “Apa yang terjadi jika seseorang merespons secara estetis?”[1]. Nah marilah kita sama-sama mendengarkan pembahasan yang merupakan inti dari pemakalah, yaitu berdasarkan silabus mata kuliah Estetika, tentang Pengalaman Estetis dan Religius.

B.  Pembahasan
Dalam perjalanan sejarah dunia kita mempelajari kurun-kurun tertentu, bahwa seni mengalami perkembangan pesat. Kurun itu ditandai oleh empat ciri:[2]
v  Perasaan yang mendalam yang mencari ekspresi atau pernyataan.
v  Jeni yang menyatakannya dalam bentuk yang sesuai.
v  Hadirin yang simpatik mampu menghargai dan menyenangi karya seni.
v  Motif agama yang kuat sebagai latar-belakang ciptaan-ciptaan besar.
Di dalam estetika dikenal ada dua pendekatan, yaitu:
a.       Langsung meneliti keindahan itu dalam objek-objek atau benda-benda atau alam indah secara karya seni.
b.      Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si subjek (pengalaman keindahan dalam diri orangnya).
Para pemikir modern cenderung memberi perhatian pada yang kedua: pengalaman keindahan. Salah satu tokoh, Clive Bell mengatakan “Estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus atau istimewa”. Disini terlintas pertanyaan, apa maksudnya pengalaman pribadi? Nah, sebuah pengalaman pribadi bila pengalaman itu dirasakan oleh seorang pribadi. Dan khusus mengenai rasa keindahan (rasa estetis), Clive Bell menyatakan bahwa orang hanya bisa tahu apa itu kalau pernah mengalaminya dan bukan karena diberi tahu.[3] Semisalkan tentang cabe rawit itu rasanya pedes. Seseorang itu tidak cukup hanya diberi tahu tanpa mencicipi itu cabe, akan tetapi harus mencobanya terlebih dahulu kemudian baru bisa mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya.
Sementara itu pengalaman yang kita sebut sebagai pengalaman estetis sering dikaitkan dengan karya seni sehingga estetika kadang kala dianggap sebagai ‘filsafat seni’. Namun, pertanyaannya “dapatkan Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan seni?” Hal tersebut  sama sulitnya dengan pertanyaan tentang definisi ‘keindahan’. Akan tetapi  John Dewey mengatakan bahwa “Tidak akan ada seni tanpa seniman”[4]. Ia percaya bahwa jika sesuatu itu adalah produk alam, maka tidak akan dimasukkan ke sebuah museum seni. Bahkan, meskipun sesuatu itu indah, jika tidak ada seniman yang menciptakannya, maka bukanlah seni.
Teori estetika yang memfokuskan diri pada sang seniman, menjelaskan istilah kunci seperti ‘keindahan’, ‘seni’, atau ‘etetis’ dalam pengertian yang dianggap khusus menyangkut kegiatan atau psikologi artistik. Oleh karena itu suatu definisi mengusulkan sesuatu agar dianggap sebagai objek estetis, jika dan hanya jika, sang seniman menciptakannya dengan maksud menghasilkan respon estetis. Respon tersebut telah diperhitungkan secara beragam dalam pengertian pengalaman estetis yang khas, seperti uji pengalaman tentang selera atau mengambil sikap yang unik. Atau bahkan sebagian teori menganggap bahwa sang seniman memang memiliki kreativitas dan imajinasi. Teori lainnya tentang penikmat memfokuskan pada adanya emosi atau mental yang khas terhadap suatu karya.
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis muncul sejak abad ke-18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar-dasar kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik, maupun estetika.
Ada dua jenis tolok ukur untuk pengalaman keindahan:
a)      Karya-karya seni itu berharga dan bisa dialami sebagai keindahan melulu karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahannya terletak pada hakikat benda seni.
b)      Pengalaman estetis akan suatu karya seni itu amat tergantung pada subjek pemiliknya.
Dalam pembahasan ini terfokus pada jenis tolok ukur yang kedua. Dari segi subjek yang mengalami pengalaman estetis baik Aristoteles maupun Plato hanya menyoroti bagaimana pengaruh keindahan itu pada watak si subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masyarakat.
Misalnya Aristoteles mengatakan bahwa seni itu berperan katharsis.[5] Sementara Plato mengatakan bahwa seni alam (natural object) amat negatif: mereka ini tidak lain cuma imitasi dari realita ideal yang sejati. Lebih benar, lebih indah; oleh karena itu nilainya kecil. Sedangkan pengalaman estetis dipandang lebih rendah lagi karena tidak lain hanya imitasi dari imitasi itu. Hal tersebut bermaksud bahwa pengalaman keindahan itu cuma reaksi yang berupa tiruan pada benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati).[6] Bahkan ia juga mengatakan bahwa keindahan itu mengatasi dunia indera, pengalaman. Artinya pengalaman akan keindahan (bukan pengalaman terhadap benda-benda indah) itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsi, dijabarkan, sebagaimana kini bicara tentang pengalaman estetika.[7]
Pada abad pertengahan, pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religius. Yang indah dialami ada dua kata kunci, yaitu sebagai “yang terang, yang benderang jernih” dan sebagai yang “memukau”. Misalkan pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, sehingga apa saja yang indah (benda seni, karya seni) dipandang sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia, Sementara pada zaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang memberikan kepuasan berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap kesadaran rasa tertentu. Akan tetapi kelemahan tolok ukur ini adalah mengaitkan estetika dengan tahap kesadaran tertentu dengan akibat orang-orang bertanya samakah rasa ini dengan rasa itu?
Bagaimana pengalaman estetis mau dinilai? Tolstoy menghubungkannya dengan kriteria moral, baginya ‘kesenian’ hanya bisa dibenarkan atau bahkan hanya disebut seni sejati bila mampu memberi pengalaman cinta persaudaraan pada umat manusia.[8] Bahkan Thomas Aquinas yang mengemukakan tentang estetika di abad pertengahan mengatakan bahwa keindahan (beauty) bukanlah nilai yang independen, melainkan lebih sebagai ‘percikan kebenaran’ (splendor veritatis) dari kesempurnaan Ilahi, yakni Tuhan sendiri.[9]
Baiklah, kita telah sama-sama dengar pemaparan tadi, dan ada dua titik pendalaman filsafatinya, yaitu:
1)      Pengalaman estetika berkait dengan soal perasaan.
2)      Ada hubungan antara indah dengan huruf kecil dan indah dengan huruf besar (INDAH).
Pengalaman yang indah berhubungan dengan sang sumber keindahan. Bahkan fenomenologi menunjuk kesejajaran antara pengalaman estetika dengan pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus). Pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus) ini dimaksudkan pemakalah sebagai pengalaman religius. Karena dirasa bahwa religius itu tidak terlepas dari prinsip ketuhanan atau Yang Ilahi. Dalam kaitan lain bahwa Yang Ilahi disini diartikan dengan Sang Ada dan juga Sang INDAH.
Refleksi filsafati mengenai keindahan; Sang Ada itu sekaligus “Baik”, “Benar” dan “Indah” (Ens Est Bonum, Verum, Pulchrum.) Being (Sang Ada) itu sekaligus baik ( menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral). Benar (menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahuan). Dan Indah (menjadi gapaian estetika). Ciri Sang Ada sebagai ‘baik’ menjadi tujuan kehendak manusia dalam moralnya. Ciri ‘benar’ menjadi cita-cita akal budinya. Dan ciri sang Ada sebagai ‘indah’ menjadi dambaan rasa.
Untuk memahaminya kita akan melihat kesejajarannya dengan pengalaman akan Yang Kudus. Kesamaan dan kesejajaran dalam hal tersebut adalah teralaminya perasaan Nominosum. Berhadapan dengan Yang Kudus (Misterium; Penuh rahasia), menurut Rudolf Otto, manusia mengalami perasaan Nominosum dengan ciri disatu pihak ‘tremendum’ ; menggetarkan dan dilain pihak ‘fascinans’, mempesonakan. Yang Kudus dalam diri manusia, sebagai isi pengalaman disebut nominosum. dalam diri manusia, nominosum tadi dialami disatu segi sebagai misteri, tidak terselami, ajaib, membuat gentar, membuat manusia merasa kecil tak berdaya. Di lain segi, Yang Kudus dialami sebagai menawan, memikat, menyenangkan hati manusia membuat bahagia, menarik. Estetika terletak disini. Oleh karena itu, skema dasar pengalaman itu adalah pengalaman antara jauh dan dekat, asing dan menarik, membuat takut dan mempesona, sebuah sekema pengalaman harmoninya sebuah pertentangan. Persis seperti pengalaman estetis antara inspirasi yang amat kaya dengan ekpresi wujud karya seni yang selalu terasa terbatas, amat miskin.
Skema dasar tersebut bila dihubungkan dengan sumbernya atau Yang Kudus atau Yang INDAH, ENS itu didalam pengalaman “dunia kita”. Artinya terhadap apa yang ada, terhadap “dunia kita”, manusia mengalaminya sebagai ‘tanda’ atau alamat isyarat dari Yang Kudus, Yang INDAH (entah itu bernama Yang Kudus atau Insirasi Yang INDAH).
Pengalaman Yang Kudus itu tercampur dengan rupa-rupa pengalaman dunia, ia tercampur dengan yang kosmis (kadang yang cosmos diartikan Allah sendiri). Dalam kebudayaan petani Yang Kudus; diidentifir sebagai sumber kehidupan, kesuburan, pemilik alam, Estetika pada kebudayaan ini muncul dalam ekpresi-ekpresi seperti dewi kesuburan, puji-puji terhadap si sumber kehidupan.
Yang Kudus tercampur dengan yang erotis; seksualitas dialami sebagai daya pembuahan, kekuatan hidup, kesuburan alam; oleh karena itu, lambang-lambang yang muncul terekspresi dalam nyanyi, puisi, kesenian, simbolik-simbolik; bumi = ibu = rahim = pertiwi = kandungan; pohon, tiang pemujaan yang diukir magik indah = phallus; armara = api.
Yang Kudus tercampur dengan yang demonis ; menggetarkan (setan, iblis, yang jahat, yang merusak). Dan daya desstruktif dalam diri manusia; kebincian, naluri membunuh.
Yang Kudus atau INDAH tercampur dengan yang terlarang (Tabu); disini persis ambiguitas batas antara yang seni, yang telanjang dengan yang disebut pornografis.
Dari deskripsi diatas bisa ditarik satu benang merah; pengalaman akan Yang Kudus atau Yang INDAH itu bersifat naïf dan mendua (ambigu) seperti ciri khas perasaan (afeksi, rasa) itu sendiri. Kesimpulan ini membawa kita kebahasan soal perasaan.[10]
C.    Kesimpulan
Pembahasan tidak bisa disimpilkan begitu saja dengan pembahasan yang hanya menghabiskan waktu satu jam saja. Namun  persoalan estetis yang menyangkut penikmat seni merupakan topik dari banyak perdebatan filosofis kontemporer. Terkadang pengalaman penikmat dijelaskan menurut pengertian kemampuan khusus, seperti selera dan estetika ditandai sebagai kepekaan atau persepsi yang khusus. Pengalaman estetis juga dijelaskan melalui adanya sikap khusus yang diperkirakan orang, dimana  kepentingan praktis sehari-hari dikesampingkan atau dimana pemikiran digantikan emosi.
Yang Ilahi atau Yang INDAH dialami oleh orang lewat alam. Dan kita melihat bahwa orang yang makin tergantung pada alam makin peka terhadap pengalaman akan yang ilahi itu. Kita melihat bagai mana petani lebih peka, lalu buruh dan wanita kemudian baru para cendikiawan. Pengalaman itu juga bisa terjadi pada saat orang berhasil mengatasi saat-saat sakit atau kalau orang merenungkan evolusi jagat raya.

DAFTAR PUSTAKA

Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Terj. Oleh Embun Kenyowati Ekosiwi, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Sutrisno, Mudji, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Ali, Matius, Estetika: Pengantar Filsafat Seni, Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.





[1] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Terj. Oleh Embun Kenyowati Ekosiwi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.5.
[2] Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. I, h. 510.
[3]Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 81-82.
[4] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, h. 19.
[5] Katharsis yang dimaksudkan Aristoteles disini adalah  membersihkan kembali jiwa manusia yang mengalami keindahan.
[6] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[7] Sutrisno, Mudji, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), cet. IV, h.52
[8] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[9] Ali, Matius, Estetika: Pengantar Filsafat Seni, (Jakarta: Sanggar Luxor, 2011), cet. III, h. 39.
[10] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h. 86-88.

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 24 Juni 2013

PENGALAMAN ESTETIS DAN RELIGIUS

Diposting oleh Unknown di 02.20


A.    Pendahuluan
Sebelumnya kita telah sama-sama mempelajari estetika, baik itu pengertian estetika, estetika masa klasik atau modern,  bahkan aliran-aliran dalam estetika. Namun kali ini kami akan membahas tentang materi yang berbeda yaitu tentang pengalaman estetis dan religius.  
Sedikit kita ulas pembahasan kemarin bahwa estetika sebagai ilmu normatif sebanding dengan etika, bahkan lebih berpengaruh dari pada logika. Karena seni itu sendiri merupakan nilai yang besar peranannya dalam kehidupan. Bahkan orang membandingkan nilai bagus (estetika) dengan nilai benar (etika). Malahan kita juga sering mendengar ungkapan orang yang menandakan rasa ketakjuban misalnya: Alangkah indahnya! Atau bagus amat! Dibanding ungkapan: Alangkah benarnya! Atau Baik amat! Apalagi masalah perasaan yang mungkin banyak dirasakan oleh anak muda sekarang, ketika laki-laki tertarik pada perempuan, melihat dari pandangan pertama. Kebanyakan mereka menumpahkan perhatiannya pada keindahan bentuk atau rupa, kecantikannyakah atau mungkin perempuan itu menawan untuknya, daripada moral atau tingkah lakunya.
Istilah estetika baru muncul pada abad ke-18, meskipun sejarah yang mengacu pada estetika adalah setua sejarah etika, logika, metafisika, dan epistemologi. Filsuf Alexander Baumgarten-lah yang memperkenalkannya di tahun 1750 yang berkecenderungan pada wilayah filsafat. Dengan menggunakan kata Yunani aisthetikos yang berarti ‘persepsi indrawi’, Baumgarten bermaksud menciptakan ilmu pengetahuan tentang keindahan yang didasarkan pada persepsi indrawi.  Peralihan perhatian dari benda-benda menjadi persepsi atas benda-benda, dari objek ke subjek, ditandai oleh perhatian Baumgarten pada pengalaman indrawi, yang menunjukkan bahwa posisi sentral dari pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui suatu benda indah atau jelek?” mulai digantikan oleh pertanyaan, “Apa yang terjadi jika seseorang merespons secara estetis?”[1]. Nah marilah kita sama-sama mendengarkan pembahasan yang merupakan inti dari pemakalah, yaitu berdasarkan silabus mata kuliah Estetika, tentang Pengalaman Estetis dan Religius.

B.  Pembahasan
Dalam perjalanan sejarah dunia kita mempelajari kurun-kurun tertentu, bahwa seni mengalami perkembangan pesat. Kurun itu ditandai oleh empat ciri:[2]
v  Perasaan yang mendalam yang mencari ekspresi atau pernyataan.
v  Jeni yang menyatakannya dalam bentuk yang sesuai.
v  Hadirin yang simpatik mampu menghargai dan menyenangi karya seni.
v  Motif agama yang kuat sebagai latar-belakang ciptaan-ciptaan besar.
Di dalam estetika dikenal ada dua pendekatan, yaitu:
a.       Langsung meneliti keindahan itu dalam objek-objek atau benda-benda atau alam indah secara karya seni.
b.      Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si subjek (pengalaman keindahan dalam diri orangnya).
Para pemikir modern cenderung memberi perhatian pada yang kedua: pengalaman keindahan. Salah satu tokoh, Clive Bell mengatakan “Estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus atau istimewa”. Disini terlintas pertanyaan, apa maksudnya pengalaman pribadi? Nah, sebuah pengalaman pribadi bila pengalaman itu dirasakan oleh seorang pribadi. Dan khusus mengenai rasa keindahan (rasa estetis), Clive Bell menyatakan bahwa orang hanya bisa tahu apa itu kalau pernah mengalaminya dan bukan karena diberi tahu.[3] Semisalkan tentang cabe rawit itu rasanya pedes. Seseorang itu tidak cukup hanya diberi tahu tanpa mencicipi itu cabe, akan tetapi harus mencobanya terlebih dahulu kemudian baru bisa mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya.
Sementara itu pengalaman yang kita sebut sebagai pengalaman estetis sering dikaitkan dengan karya seni sehingga estetika kadang kala dianggap sebagai ‘filsafat seni’. Namun, pertanyaannya “dapatkan Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan seni?” Hal tersebut  sama sulitnya dengan pertanyaan tentang definisi ‘keindahan’. Akan tetapi  John Dewey mengatakan bahwa “Tidak akan ada seni tanpa seniman”[4]. Ia percaya bahwa jika sesuatu itu adalah produk alam, maka tidak akan dimasukkan ke sebuah museum seni. Bahkan, meskipun sesuatu itu indah, jika tidak ada seniman yang menciptakannya, maka bukanlah seni.
Teori estetika yang memfokuskan diri pada sang seniman, menjelaskan istilah kunci seperti ‘keindahan’, ‘seni’, atau ‘etetis’ dalam pengertian yang dianggap khusus menyangkut kegiatan atau psikologi artistik. Oleh karena itu suatu definisi mengusulkan sesuatu agar dianggap sebagai objek estetis, jika dan hanya jika, sang seniman menciptakannya dengan maksud menghasilkan respon estetis. Respon tersebut telah diperhitungkan secara beragam dalam pengertian pengalaman estetis yang khas, seperti uji pengalaman tentang selera atau mengambil sikap yang unik. Atau bahkan sebagian teori menganggap bahwa sang seniman memang memiliki kreativitas dan imajinasi. Teori lainnya tentang penikmat memfokuskan pada adanya emosi atau mental yang khas terhadap suatu karya.
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis muncul sejak abad ke-18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar-dasar kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik, maupun estetika.
Ada dua jenis tolok ukur untuk pengalaman keindahan:
a)      Karya-karya seni itu berharga dan bisa dialami sebagai keindahan melulu karena karya itu sendiri bernilai. Nilai keindahannya terletak pada hakikat benda seni.
b)      Pengalaman estetis akan suatu karya seni itu amat tergantung pada subjek pemiliknya.
Dalam pembahasan ini terfokus pada jenis tolok ukur yang kedua. Dari segi subjek yang mengalami pengalaman estetis baik Aristoteles maupun Plato hanya menyoroti bagaimana pengaruh keindahan itu pada watak si subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masyarakat.
Misalnya Aristoteles mengatakan bahwa seni itu berperan katharsis.[5] Sementara Plato mengatakan bahwa seni alam (natural object) amat negatif: mereka ini tidak lain cuma imitasi dari realita ideal yang sejati. Lebih benar, lebih indah; oleh karena itu nilainya kecil. Sedangkan pengalaman estetis dipandang lebih rendah lagi karena tidak lain hanya imitasi dari imitasi itu. Hal tersebut bermaksud bahwa pengalaman keindahan itu cuma reaksi yang berupa tiruan pada benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati).[6] Bahkan ia juga mengatakan bahwa keindahan itu mengatasi dunia indera, pengalaman. Artinya pengalaman akan keindahan (bukan pengalaman terhadap benda-benda indah) itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsi, dijabarkan, sebagaimana kini bicara tentang pengalaman estetika.[7]
Pada abad pertengahan, pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religius. Yang indah dialami ada dua kata kunci, yaitu sebagai “yang terang, yang benderang jernih” dan sebagai yang “memukau”. Misalkan pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, sehingga apa saja yang indah (benda seni, karya seni) dipandang sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia, Sementara pada zaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang memberikan kepuasan berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap kesadaran rasa tertentu. Akan tetapi kelemahan tolok ukur ini adalah mengaitkan estetika dengan tahap kesadaran tertentu dengan akibat orang-orang bertanya samakah rasa ini dengan rasa itu?
Bagaimana pengalaman estetis mau dinilai? Tolstoy menghubungkannya dengan kriteria moral, baginya ‘kesenian’ hanya bisa dibenarkan atau bahkan hanya disebut seni sejati bila mampu memberi pengalaman cinta persaudaraan pada umat manusia.[8] Bahkan Thomas Aquinas yang mengemukakan tentang estetika di abad pertengahan mengatakan bahwa keindahan (beauty) bukanlah nilai yang independen, melainkan lebih sebagai ‘percikan kebenaran’ (splendor veritatis) dari kesempurnaan Ilahi, yakni Tuhan sendiri.[9]
Baiklah, kita telah sama-sama dengar pemaparan tadi, dan ada dua titik pendalaman filsafatinya, yaitu:
1)      Pengalaman estetika berkait dengan soal perasaan.
2)      Ada hubungan antara indah dengan huruf kecil dan indah dengan huruf besar (INDAH).
Pengalaman yang indah berhubungan dengan sang sumber keindahan. Bahkan fenomenologi menunjuk kesejajaran antara pengalaman estetika dengan pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus). Pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus) ini dimaksudkan pemakalah sebagai pengalaman religius. Karena dirasa bahwa religius itu tidak terlepas dari prinsip ketuhanan atau Yang Ilahi. Dalam kaitan lain bahwa Yang Ilahi disini diartikan dengan Sang Ada dan juga Sang INDAH.
Refleksi filsafati mengenai keindahan; Sang Ada itu sekaligus “Baik”, “Benar” dan “Indah” (Ens Est Bonum, Verum, Pulchrum.) Being (Sang Ada) itu sekaligus baik ( menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral). Benar (menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahuan). Dan Indah (menjadi gapaian estetika). Ciri Sang Ada sebagai ‘baik’ menjadi tujuan kehendak manusia dalam moralnya. Ciri ‘benar’ menjadi cita-cita akal budinya. Dan ciri sang Ada sebagai ‘indah’ menjadi dambaan rasa.
Untuk memahaminya kita akan melihat kesejajarannya dengan pengalaman akan Yang Kudus. Kesamaan dan kesejajaran dalam hal tersebut adalah teralaminya perasaan Nominosum. Berhadapan dengan Yang Kudus (Misterium; Penuh rahasia), menurut Rudolf Otto, manusia mengalami perasaan Nominosum dengan ciri disatu pihak ‘tremendum’ ; menggetarkan dan dilain pihak ‘fascinans’, mempesonakan. Yang Kudus dalam diri manusia, sebagai isi pengalaman disebut nominosum. dalam diri manusia, nominosum tadi dialami disatu segi sebagai misteri, tidak terselami, ajaib, membuat gentar, membuat manusia merasa kecil tak berdaya. Di lain segi, Yang Kudus dialami sebagai menawan, memikat, menyenangkan hati manusia membuat bahagia, menarik. Estetika terletak disini. Oleh karena itu, skema dasar pengalaman itu adalah pengalaman antara jauh dan dekat, asing dan menarik, membuat takut dan mempesona, sebuah sekema pengalaman harmoninya sebuah pertentangan. Persis seperti pengalaman estetis antara inspirasi yang amat kaya dengan ekpresi wujud karya seni yang selalu terasa terbatas, amat miskin.
Skema dasar tersebut bila dihubungkan dengan sumbernya atau Yang Kudus atau Yang INDAH, ENS itu didalam pengalaman “dunia kita”. Artinya terhadap apa yang ada, terhadap “dunia kita”, manusia mengalaminya sebagai ‘tanda’ atau alamat isyarat dari Yang Kudus, Yang INDAH (entah itu bernama Yang Kudus atau Insirasi Yang INDAH).
Pengalaman Yang Kudus itu tercampur dengan rupa-rupa pengalaman dunia, ia tercampur dengan yang kosmis (kadang yang cosmos diartikan Allah sendiri). Dalam kebudayaan petani Yang Kudus; diidentifir sebagai sumber kehidupan, kesuburan, pemilik alam, Estetika pada kebudayaan ini muncul dalam ekpresi-ekpresi seperti dewi kesuburan, puji-puji terhadap si sumber kehidupan.
Yang Kudus tercampur dengan yang erotis; seksualitas dialami sebagai daya pembuahan, kekuatan hidup, kesuburan alam; oleh karena itu, lambang-lambang yang muncul terekspresi dalam nyanyi, puisi, kesenian, simbolik-simbolik; bumi = ibu = rahim = pertiwi = kandungan; pohon, tiang pemujaan yang diukir magik indah = phallus; armara = api.
Yang Kudus tercampur dengan yang demonis ; menggetarkan (setan, iblis, yang jahat, yang merusak). Dan daya desstruktif dalam diri manusia; kebincian, naluri membunuh.
Yang Kudus atau INDAH tercampur dengan yang terlarang (Tabu); disini persis ambiguitas batas antara yang seni, yang telanjang dengan yang disebut pornografis.
Dari deskripsi diatas bisa ditarik satu benang merah; pengalaman akan Yang Kudus atau Yang INDAH itu bersifat naïf dan mendua (ambigu) seperti ciri khas perasaan (afeksi, rasa) itu sendiri. Kesimpulan ini membawa kita kebahasan soal perasaan.[10]
C.    Kesimpulan
Pembahasan tidak bisa disimpilkan begitu saja dengan pembahasan yang hanya menghabiskan waktu satu jam saja. Namun  persoalan estetis yang menyangkut penikmat seni merupakan topik dari banyak perdebatan filosofis kontemporer. Terkadang pengalaman penikmat dijelaskan menurut pengertian kemampuan khusus, seperti selera dan estetika ditandai sebagai kepekaan atau persepsi yang khusus. Pengalaman estetis juga dijelaskan melalui adanya sikap khusus yang diperkirakan orang, dimana  kepentingan praktis sehari-hari dikesampingkan atau dimana pemikiran digantikan emosi.
Yang Ilahi atau Yang INDAH dialami oleh orang lewat alam. Dan kita melihat bahwa orang yang makin tergantung pada alam makin peka terhadap pengalaman akan yang ilahi itu. Kita melihat bagai mana petani lebih peka, lalu buruh dan wanita kemudian baru para cendikiawan. Pengalaman itu juga bisa terjadi pada saat orang berhasil mengatasi saat-saat sakit atau kalau orang merenungkan evolusi jagat raya.

DAFTAR PUSTAKA

Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Terj. Oleh Embun Kenyowati Ekosiwi, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Sutrisno, Mudji, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Ali, Matius, Estetika: Pengantar Filsafat Seni, Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.





[1] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Terj. Oleh Embun Kenyowati Ekosiwi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.5.
[2] Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. I, h. 510.
[3]Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 81-82.
[4] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, h. 19.
[5] Katharsis yang dimaksudkan Aristoteles disini adalah  membersihkan kembali jiwa manusia yang mengalami keindahan.
[6] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[7] Sutrisno, Mudji, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), cet. IV, h.52
[8] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[9] Ali, Matius, Estetika: Pengantar Filsafat Seni, (Jakarta: Sanggar Luxor, 2011), cet. III, h. 39.
[10] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h. 86-88.

0 komentar on " PENGALAMAN ESTETIS DAN RELIGIUS"

Posting Komentar

 
Copyright NINA NURMILAH 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .