A. Pendahuluan
Sebelumnya kita telah sama-sama mempelajari
estetika, baik itu pengertian estetika, estetika masa klasik atau modern, bahkan aliran-aliran dalam estetika. Namun
kali ini kami akan membahas tentang materi yang berbeda yaitu tentang pengalaman
estetis dan religius.
Sedikit kita ulas pembahasan kemarin bahwa estetika
sebagai ilmu normatif sebanding dengan etika, bahkan lebih berpengaruh dari
pada logika. Karena seni itu sendiri merupakan nilai yang besar peranannya
dalam kehidupan. Bahkan orang membandingkan nilai bagus (estetika) dengan nilai
benar (etika). Malahan kita juga sering mendengar ungkapan orang yang
menandakan rasa ketakjuban misalnya: Alangkah indahnya! Atau bagus amat! Dibanding
ungkapan: Alangkah benarnya! Atau Baik amat! Apalagi masalah perasaan yang
mungkin banyak dirasakan oleh anak muda sekarang, ketika laki-laki tertarik
pada perempuan, melihat dari pandangan pertama. Kebanyakan mereka menumpahkan
perhatiannya pada keindahan bentuk atau rupa, kecantikannyakah atau mungkin
perempuan itu menawan untuknya, daripada moral atau tingkah lakunya.
Istilah estetika baru muncul pada abad ke-18,
meskipun sejarah yang mengacu pada estetika adalah setua sejarah etika, logika,
metafisika, dan epistemologi. Filsuf Alexander Baumgarten-lah yang
memperkenalkannya di tahun 1750 yang berkecenderungan pada wilayah filsafat.
Dengan menggunakan kata Yunani aisthetikos
yang berarti ‘persepsi indrawi’, Baumgarten bermaksud menciptakan ilmu
pengetahuan tentang keindahan yang didasarkan pada persepsi indrawi. Peralihan perhatian dari benda-benda menjadi persepsi atas benda-benda, dari objek ke
subjek, ditandai oleh perhatian Baumgarten pada pengalaman indrawi, yang
menunjukkan bahwa posisi sentral dari pertanyaan “Bagaimana kita mengetahui
suatu benda indah atau jelek?” mulai digantikan oleh pertanyaan, “Apa yang
terjadi jika seseorang merespons secara estetis?”[1].
Nah marilah kita sama-sama
mendengarkan pembahasan yang merupakan inti dari pemakalah, yaitu berdasarkan
silabus mata kuliah Estetika, tentang Pengalaman Estetis dan Religius.
B. Pembahasan
Dalam perjalanan sejarah dunia kita mempelajari
kurun-kurun tertentu, bahwa seni mengalami perkembangan pesat. Kurun itu
ditandai oleh empat ciri:[2]
v Perasaan yang mendalam yang
mencari ekspresi atau pernyataan.
v Jeni yang menyatakannya dalam
bentuk yang sesuai.
v Hadirin yang simpatik mampu
menghargai dan menyenangi karya seni.
v Motif agama yang kuat sebagai
latar-belakang ciptaan-ciptaan besar.
Di dalam estetika dikenal ada dua pendekatan, yaitu:
a. Langsung meneliti keindahan itu
dalam objek-objek atau benda-benda atau alam indah secara karya seni.
b. Menyoroti situasi kontemplasi
rasa indah yang sedang dialami oleh si subjek (pengalaman keindahan dalam diri
orangnya).
Para pemikir modern cenderung memberi perhatian pada
yang kedua: pengalaman keindahan. Salah satu tokoh, Clive Bell mengatakan
“Estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus atau
istimewa”. Disini terlintas pertanyaan, apa maksudnya pengalaman pribadi? Nah, sebuah pengalaman pribadi bila pengalaman
itu dirasakan oleh seorang pribadi. Dan khusus mengenai rasa keindahan (rasa
estetis), Clive Bell menyatakan bahwa orang hanya bisa tahu apa itu kalau
pernah mengalaminya dan bukan karena diberi tahu.[3]
Semisalkan tentang cabe rawit itu rasanya pedes. Seseorang itu tidak cukup
hanya diberi tahu tanpa mencicipi itu cabe, akan tetapi harus mencobanya
terlebih dahulu kemudian baru bisa mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya.
Sementara itu pengalaman yang kita sebut sebagai
pengalaman estetis sering dikaitkan dengan karya seni sehingga estetika kadang
kala dianggap sebagai ‘filsafat seni’. Namun, pertanyaannya “dapatkan Anda
jelaskan apa yang dimaksud dengan seni?” Hal tersebut sama sulitnya dengan pertanyaan tentang
definisi ‘keindahan’. Akan tetapi John
Dewey mengatakan bahwa “Tidak akan ada seni tanpa seniman”[4].
Ia percaya bahwa jika sesuatu itu adalah produk alam, maka tidak akan
dimasukkan ke sebuah museum seni. Bahkan, meskipun sesuatu itu indah, jika
tidak ada seniman yang menciptakannya, maka bukanlah seni.
Teori estetika yang memfokuskan diri pada sang
seniman, menjelaskan istilah kunci seperti ‘keindahan’, ‘seni’, atau ‘etetis’
dalam pengertian yang dianggap khusus menyangkut kegiatan atau psikologi
artistik. Oleh karena itu suatu definisi mengusulkan sesuatu agar dianggap
sebagai objek estetis, jika dan hanya jika, sang seniman menciptakannya dengan
maksud menghasilkan respon estetis. Respon tersebut telah diperhitungkan secara
beragam dalam pengertian pengalaman estetis yang khas, seperti uji pengalaman
tentang selera atau mengambil sikap yang unik. Atau bahkan sebagian teori
menganggap bahwa sang seniman memang memiliki kreativitas dan imajinasi. Teori
lainnya tentang penikmat memfokuskan pada adanya emosi atau mental yang khas
terhadap suatu karya.
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis muncul
sejak abad ke-18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung
mencari dasar-dasar kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik, maupun
estetika.
Ada dua jenis tolok ukur untuk pengalaman keindahan:
a) Karya-karya seni itu berharga
dan bisa dialami sebagai keindahan melulu karena karya itu sendiri bernilai.
Nilai keindahannya terletak pada hakikat benda seni.
b) Pengalaman estetis akan suatu
karya seni itu amat tergantung pada subjek pemiliknya.
Dalam pembahasan ini terfokus pada jenis tolok ukur
yang kedua. Dari segi subjek yang mengalami pengalaman estetis baik Aristoteles
maupun Plato hanya menyoroti bagaimana pengaruh keindahan itu pada watak si
subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masyarakat.
Misalnya Aristoteles mengatakan bahwa seni itu
berperan katharsis.[5]
Sementara Plato mengatakan bahwa seni alam (natural
object) amat negatif: mereka ini tidak lain cuma imitasi dari realita ideal
yang sejati. Lebih benar, lebih indah; oleh karena itu nilainya kecil.
Sedangkan pengalaman estetis dipandang lebih rendah lagi karena tidak lain
hanya imitasi dari imitasi itu. Hal tersebut bermaksud bahwa pengalaman
keindahan itu cuma reaksi yang berupa tiruan pada benda-benda seni alam (yang
sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati).[6]
Bahkan ia juga mengatakan bahwa keindahan itu mengatasi dunia indera,
pengalaman. Artinya pengalaman akan keindahan (bukan pengalaman terhadap
benda-benda indah) itu khusus, tidak bisa tuntas dideskripsi, dijabarkan,
sebagaimana kini bicara tentang pengalaman estetika.[7]
Pada abad pertengahan, pengalaman estetis dikaitkan
dengan pengalaman religius. Yang indah dialami ada dua kata kunci, yaitu
sebagai “yang terang, yang benderang jernih” dan sebagai yang “memukau”. Misalkan
pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, sehingga
apa saja yang indah (benda seni, karya seni) dipandang sebagai simbol-simbol
dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia, Sementara
pada zaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang
memberikan kepuasan berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada
tahap kesadaran rasa tertentu. Akan tetapi kelemahan tolok ukur ini adalah
mengaitkan estetika dengan tahap kesadaran tertentu dengan akibat orang-orang
bertanya samakah rasa ini dengan rasa itu?
Bagaimana pengalaman estetis mau dinilai? Tolstoy
menghubungkannya dengan kriteria moral, baginya ‘kesenian’ hanya bisa
dibenarkan atau bahkan hanya disebut seni sejati bila mampu memberi pengalaman
cinta persaudaraan pada umat manusia.[8]
Bahkan Thomas Aquinas yang mengemukakan tentang estetika di abad pertengahan
mengatakan bahwa keindahan (beauty)
bukanlah nilai yang independen, melainkan lebih sebagai ‘percikan kebenaran’ (splendor veritatis) dari kesempurnaan
Ilahi, yakni Tuhan sendiri.[9]
Baiklah, kita telah sama-sama dengar pemaparan tadi,
dan ada dua titik pendalaman filsafatinya, yaitu:
1) Pengalaman estetika berkait
dengan soal perasaan.
2) Ada hubungan antara indah
dengan huruf kecil dan indah dengan huruf besar (INDAH).
Pengalaman yang indah berhubungan dengan sang sumber
keindahan. Bahkan fenomenologi menunjuk kesejajaran antara pengalaman estetika
dengan pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus). Pengalaman akan Yang Ilahi (Yang
Kudus) ini dimaksudkan pemakalah sebagai pengalaman religius. Karena dirasa
bahwa religius itu tidak terlepas dari prinsip ketuhanan atau Yang Ilahi. Dalam
kaitan lain bahwa Yang Ilahi disini diartikan dengan Sang Ada dan juga Sang
INDAH.
Refleksi filsafati mengenai keindahan; Sang Ada itu
sekaligus “Baik”, “Benar” dan “Indah” (Ens Est Bonum, Verum, Pulchrum.) Being
(Sang Ada) itu sekaligus baik ( menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral).
Benar (menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahuan). Dan Indah (menjadi
gapaian estetika). Ciri Sang Ada sebagai ‘baik’ menjadi tujuan kehendak manusia
dalam moralnya. Ciri ‘benar’ menjadi cita-cita akal budinya. Dan ciri sang Ada
sebagai ‘indah’ menjadi dambaan rasa.
Untuk memahaminya kita akan melihat kesejajarannya
dengan pengalaman akan Yang Kudus. Kesamaan dan kesejajaran dalam hal tersebut
adalah teralaminya perasaan Nominosum. Berhadapan dengan Yang Kudus (Misterium;
Penuh rahasia), menurut Rudolf Otto, manusia mengalami perasaan Nominosum
dengan ciri disatu pihak ‘tremendum’ ; menggetarkan dan dilain pihak
‘fascinans’, mempesonakan. Yang Kudus dalam diri manusia, sebagai isi
pengalaman disebut nominosum. dalam diri manusia, nominosum tadi dialami disatu
segi sebagai misteri, tidak terselami, ajaib, membuat gentar, membuat manusia
merasa kecil tak berdaya. Di lain segi, Yang Kudus dialami sebagai menawan, memikat,
menyenangkan hati manusia membuat bahagia, menarik. Estetika terletak disini.
Oleh karena itu, skema dasar pengalaman itu adalah pengalaman antara jauh dan
dekat, asing dan menarik, membuat takut dan mempesona, sebuah sekema pengalaman
harmoninya sebuah pertentangan. Persis seperti pengalaman estetis antara
inspirasi yang amat kaya dengan ekpresi wujud karya seni yang selalu terasa
terbatas, amat miskin.
Skema dasar tersebut bila dihubungkan dengan
sumbernya atau Yang Kudus atau Yang INDAH, ENS itu didalam pengalaman “dunia
kita”. Artinya terhadap apa yang ada, terhadap “dunia kita”, manusia
mengalaminya sebagai ‘tanda’ atau alamat isyarat dari Yang Kudus, Yang INDAH
(entah itu bernama Yang Kudus atau Insirasi Yang INDAH).
Pengalaman Yang Kudus itu tercampur dengan rupa-rupa
pengalaman dunia, ia tercampur dengan yang kosmis (kadang yang cosmos diartikan
Allah sendiri). Dalam kebudayaan petani Yang Kudus; diidentifir sebagai sumber
kehidupan, kesuburan, pemilik alam, Estetika pada kebudayaan ini muncul dalam
ekpresi-ekpresi seperti dewi kesuburan, puji-puji terhadap si sumber kehidupan.
Yang Kudus tercampur dengan yang erotis; seksualitas
dialami sebagai daya pembuahan, kekuatan hidup, kesuburan alam; oleh karena
itu, lambang-lambang yang muncul terekspresi dalam nyanyi, puisi, kesenian,
simbolik-simbolik; bumi = ibu = rahim = pertiwi = kandungan; pohon, tiang
pemujaan yang diukir magik indah = phallus; armara = api.
Yang Kudus tercampur dengan yang demonis ;
menggetarkan (setan, iblis, yang jahat, yang merusak). Dan daya desstruktif
dalam diri manusia; kebincian, naluri membunuh.
Yang Kudus atau INDAH tercampur dengan yang
terlarang (Tabu); disini persis ambiguitas batas antara yang seni, yang
telanjang dengan yang disebut pornografis.
Dari deskripsi diatas bisa ditarik satu benang
merah; pengalaman akan Yang Kudus atau Yang INDAH itu bersifat naïf dan mendua
(ambigu) seperti ciri khas perasaan (afeksi, rasa) itu sendiri. Kesimpulan ini
membawa kita kebahasan soal perasaan.[10]
C.
Kesimpulan
Pembahasan tidak bisa disimpilkan begitu saja dengan
pembahasan yang hanya menghabiskan waktu satu jam saja. Namun persoalan estetis yang menyangkut penikmat
seni merupakan topik dari banyak perdebatan filosofis kontemporer. Terkadang
pengalaman penikmat dijelaskan menurut pengertian kemampuan khusus, seperti
selera dan estetika ditandai sebagai kepekaan atau persepsi yang khusus.
Pengalaman estetis juga dijelaskan melalui adanya sikap khusus yang
diperkirakan orang, dimana kepentingan
praktis sehari-hari dikesampingkan atau dimana pemikiran digantikan emosi.
Yang Ilahi atau Yang INDAH dialami oleh orang lewat
alam. Dan kita melihat bahwa orang yang makin tergantung pada alam makin peka
terhadap pengalaman akan yang ilahi itu. Kita melihat bagai mana petani lebih
peka, lalu buruh dan wanita kemudian baru para cendikiawan. Pengalaman itu juga
bisa terjadi pada saat orang berhasil mengatasi saat-saat sakit atau kalau
orang merenungkan evolusi jagat raya.
DAFTAR PUSTAKA
Eaton, Marcia Muelder,
Persoalan-Persoalan Dasar Estetika,
Terj. Oleh Embun Kenyowati Ekosiwi, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Sutrisno, Mudji, Oase
Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Ali, Matius, Estetika:
Pengantar Filsafat Seni, Jakarta: Sanggar Luxor, 2011.
[1] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Terj. Oleh Embun Kenyowati
Ekosiwi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.5.
[2] Gazalba, Sidi, Sistematika
Filsafat: Pengantar kepada Teori Nilai, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
cet. I, h. 510.
[3]Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan,
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 81-82.
[4] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, h. 19.
[5] Katharsis yang dimaksudkan Aristoteles disini
adalah membersihkan kembali jiwa manusia
yang mengalami keindahan.
[6] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[7] Sutrisno, Mudji, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), cet. IV, h.52
[8] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h.84.
[9] Ali, Matius, Estetika:
Pengantar Filsafat Seni, (Jakarta: Sanggar Luxor, 2011), cet. III, h. 39.
[10] Sutrisno, Mudji, dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan, h. 86-88.

0 komentar:
Posting Komentar