Senin, 24 Juni 2013

PROBLEM EPISTEMOLOGI : SUMBER KEBENARAN : EMPIRISISME


Bersyukur kepada Allah SWT. atas terselesainya paper ini, dan shalawat serta salam selalu untuk baginda kita Muhammad SAW.
Sebelum pada pembahasan, inti dari makalah ini tentang empirisisme, alangkah lebih baiknya diketahui terlebih dahulu istilah-istilah yang menjadi judul besar di makalah ini yaitu berkenaan dengan istilah epistemologi. Kata epistemologi sudah sering kita dengar saat kita belajar, bukan hanya di mata kuliah Filsafat Agama saja, akan tetapi di mata kuliah yang lain pun hal ini dibahasnya.
Marilah kita mulai pembahasan ini dengan mengetahui arti atau maksud dari kata epistemologi.
Apa yang dimaksud dengan epistemologi?
Nah, disisni istilah epistemologi berasal dari kata Yunani, yang berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan.[1] Epistemologi adalah cabang studi filsafat yang membahas lingkup dan batas-batas pengetahuan.[2]
Apa maksud dari problem epistemologi : sumber kebenaran : empirisisme?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya epistemologi  berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu membutuhkan suatu kebenaran. Jika itu belum terbukti benar, maka  perlu adanya analisis dan uji ulang terhadap teori pengetahuan tersebut. Kebenaran pada hakikatnya adalah tujuan dari ilmu pengetahuan yang selalu berkembang. Namun ilmu pengetahuan tidak akan berkembang tanpa adanya suatu kritikan, analisis, dan lain sebagainya. Jadi mencari kebenaran adalah tujuan ilmu pengetahuan. Namun karena sifat kebenaran itu bervariasi, setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan, maka kebenaran itu merupakan problema yang ternyata membawa rentetan panjang dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui epistemologi dan bahkan logika dicoba digali tolok ukur untuk menentukan kebenaran.[3] Inilah langkah awal untuk mendirikan pondasi ilmu pengtahuan yang akan “menjawab” hakiki kesempatan untuk dikritik, diperbaiki, dan disempurnakan dengan memperhatikan dan memperhitungkan kenyataan yang berkembang dalam alam semesta. Contoh-contoh dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang membuktikan betapa kebenaran yang tampaknya telah mutlak diterima umum, kemudian ternyata bisa diubah dan disempurnakan. Misalnya teori Darwin yang menyatakan bahwasanya asal mula manusia itu dari “kera”. Pada saat itu khalayak umum begitu percaya, akan tetapi sekarang teori tersebut terbantahkan.
Manusia dikelilingi oleh materi. Namun manusia bukan tertarik pada materi-materi, melainkan bagaimana materi-materi tersebut ada dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini tentunya manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disini menimbulkan permasalahan dan perdebatan sengit di dalam diskusi-diskusi tentang apa dan darimana sumber-sumber atau asal mula ilmu pengetahuan. Yang perlu kita ketahui bahwasanya manusia memiliki pikiran dan pengetahuan yang tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan atau teori-teori lama tidak akan berkembang tanpa adanya suatu kritikan, sehingga perlulah manusia untuk berpikir kritis dan logis dalam memahami ilmu pengetahuan. Nah, tiga kemungkinan yang dimaksud tadi sumber-sumber kebenaran adalah empirisisme, rasionalisme,dan intuisi, yang ketiga tersebut sangatlah  berbeda. Yang akan saya bahas dalam kesempakatan kali ini adalah empirisisme.
Kata empirisisme, di dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata, yaitu empiris dan isme. Di  kamus ilmiah populer, kata empiris yaitu berdasarkan pengalaman dan penghayatan orang yang berpengalaman. Sementara isme yaitu suatu paham. Sehingga kata empirisme mengandung arti anggapan bahwa pengetahuan di dapat dari pengalaman atau dari indera. bertitik tolak dengan paham rasionalisme. Sementara rasionalisme adalah pandangan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam, atau terhadap sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi bersifat analitik.[4]
Salah satu sumber mendapatkan ilmu pengetahuan adalah empirisisme. Menurut empirisisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindra. Pancaindra mendapatkan kesan-kesan dari apa yang nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia.[5] Semisalkan contoh ketika saya mengatakan cabe, maka apa yang ada dalam pikiran anda? Mungkin itu pedas rasanya, kecil, buntet dan lain sebagainya. Akan tetapi kaum empirisisme tidak bisa menyepakati begitu saja tanpa mencoba terlebih dahulu. Kemudian mencoba dan merasakan cabe itu sehingga bisa percaya untuk mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya. Maka hal tersebut bisa dikatakan benar karena dapat mengalaminya sendiri. Inilah yang disebut dengan ilmu pengetahuan di dapat dari pengalaman. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu akan diperoleh lewat pengalaman-pengalaman indrawi yang sesuai.[6] Namun, pengalaman yang dimaksud itu pengalaman apa? Pertanyaan tersebut sangat menarik untuk kita kaji karena hal ini bisa menimbulkan pepertentangan yang berbeda.
Teori empirikal, teori yang menyatakan bahwa sumber konsepsi-konsepsi dan gagasan manusia itu berasal dari pengindraan.Sumber lain bahwa empirisisme itu adalah ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Inilah saya kira sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, yang mana pengetahuan itu didapat dari pengalaman inderawi.
Sekarang kita meranjak ke pembahasan tokoh-tokoh. akan tetapi alangkah baiknya jika kita membahas tokoh terdahulu pengikut aliran empirisisme. Para pemikir di Inggris lebih mengikuti jejak Fancis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengalaman. Orang pertama abad ke-17 di Inggris yang mengikuti aliran ini adalah Thomas Hobbes (15 88-1679 M.) Ia berpangkal pada empirisme secara konsekuen. Ia juga menerima metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Ia adalah seorang empiris yang mengagumi metode matematika, yaitu matematika yang murni dengan penerapannya.[7] Tradisi empiris kemudian dilanjutkan oleh John Locke. Untuk itu perlu diketahuijuga tokoh-tokoh yang mengikuti aliran empirisme ini.
1.      John Locke
Sekilas mengutip  tentang biografi John Locke:
      1632    : 24 Agustus lahir di Wrington/Somerset
      1652    : bekerja di Oxford
1662    : diangkat sebagai dosen retorika dan filsafat di Oxford, polemic tentang toleransi
1667    : pindah ke London, mengabdi Lord Earl of Shaftesbury
1668    : menjadi anggota society karena sumbangannya dalam ilmu alam dan ekonomi
1675    : istirahat di Prancis karena asma
1679    : kembali ke London
1683    : melarikan diri ke Belanda karena konflik politis
1689    : kembali ke Inggris, menolak jabatan pemerintah
1704    : meninggal di Oates/Essex pada tanggal 28 Oktober[8]
Adapun karya terpenting John Locke antara lain:
1690    : Essay Concerning Human Understanding (Karangan tentang pengertian manusiawi)
1689-1690-1692 : Letters on Toleration (Karangan-karangan tentang toleransi)
1690    : Two Treatises on Government (Dua karangan tentang pemerintah)
v  Pikiran-Pikiran  John Locke sekilas tentang Empirisisme
John Lock, Bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah ditulis pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkam ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.[9]
Perbedaan rasionalisme dan empirisme yaitu bahwa rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, sementara empirisme menekankan peranan empeiria (bahasa Yunani), “pengalaman inderawi”. Descartes telah mencari dasar untuk kepastian, dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berfikir, maka saya ada”. Penglihatan ini menjadi titik pangkal aliran rasionalisme. Sementara John Locke berpendapat bahwa segala sesuatu dalam pikiran saya, berasal dari pengalaman inderawi, tidak dari akal budi.[10] Misalkan bahwa otak itu seperti secarik kertas yang masih putih tanpa  tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman, baru melalui pengalaman inderawi, secarik kertas itu diisi.
John Locke adalah filusuf terbesar empirisme, yang dilanjutkan oleh G. Barkeley dan David Hume. John Locke pun melanjutkan tradisi empirisisme setelah Thomas Hobbes. Tidak beda jauh dengan rasionalisme, empirisisme pun berat sebelah. Pengaruh John Locke terdapat di Prancis (Voltaire dan Montesquieu) dan Jerman (Kant). yang akhirnya Kant yang akan menyusun suatu epistemologi yang mempersatukan empirisme dan rasionalisme.
2.      George Berkeley
Di bidang filsafat, orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (1685-1753). Filosof ini memiliki pangkal pikiran yang sama dengan Locke. Namun mampu memberikan hasil atau simpulan-simpulan berbeda dengan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Kritikan terhadap Locke meskipun sangat kental dipengaruhi Locke. Locke membedakan antara ide dan pengalaman. Pengalaman dianggap sesuatu yang berasal dari objek, sedangkan idea adalah pengalaman yang dicerna oleh subjek. Berkeley tidak menyetujui perbedaan itu, dengan pendapat bahwa pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman yang diartikan oleh Locke diartikan sebagai pengalaman indrawi, oleh Berkeley dipahami sebagai pengalaman batiniah. Dengan cara itu pula persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman.[11] Pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Ini juga sebagai perbandingan pendapat antara empirisisme dan rasionalisme.
3.      David Hume
David Hume adalah seorang filsuf yang terkenal diseluruh dunia dengan pendapatnya “ Bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman”. David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26 April 1711 dengan nama aslinya David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah namanya karena di Inggris kesulitan mengucapkan “ Home” dengan cara skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusufchrinside dan Khaterine Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada saat usia Hume masih anak-anak, sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.
Menurut David Hume bahwasanya manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimasud kesan-kesan adalah pengslaman langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima pengalaman. Ide kurang jelas, kurang hidup, jika dibanding dengan kesan-kesan. Ia juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberikan keyakinan dibanding dengan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Bahkan menurutnya pengalamanlah yang memberikan informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai dengan waktu dan tempat.[12] Begitu juga akal tidak bisa bekerja tanpa bantuan pengalaman.
Jika ditarik kesimpulan, empirisisme ini lebih menyatakan bahwasanya pengetahuan itu bersumber dari pengalaman. John Locke menyatakan bahwasanya pengetatahuan bersumber dari pengalaman indrawi. Sementara George Berkeley menyatakan bahwasanya pengetahuan bersumber dari pengalaman batiniyah. Sedangkan David Hume yang merupakan puncak dari aliran empirisisme menyatakan bahwasanya pengetahuan itu bersumber dari pengalaman lahiriyah (indrawi) dan pengalaman batiniyah. Demikianlah paper yang bisa saya sampaikan saat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan ke depannya.
  
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Prof. Dr,  MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan Logika, .Bandung: Remaja Karya CV, 1985.

Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Hamersma, Harry, Dr., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986.

Hardiman,F.Budi,., Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Hardiman,F.Budi,.Filsafat Moderen Dari Machiavelli Sampai Nietzsch” Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004.

Kattsoff, Louis O ,Pengantar Filsafat, (terj.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.

Partono,Pius A., dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.







[1] Filsafat manusia dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Dalam lingkup studi filsafat ditemukan cabang penting, yaitu epistemology, yang secara khusus mengupas ilmu pengetahuan.
[2] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika, (Bandung: Remaja Karya CV, 1985),cet. I, h.1
[3]Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika, h.86
[4] Partono,Pius A., dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)
[5] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.41
[6] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h.137
[7] Dr. Harun Hadiwijono., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.35, cet.IV
[8] F. Budi Hardiman,., Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 74
[9] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, h. 42
[10] Hamersma, Harry, Dr., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.19, cet.III
[11] F. Bbudi Hardiman “Filsafat Moderen Dari Machiavelli Sampai Nietzsch” ( Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004) h. 83-84
[12] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, h.43

0 komentar:

Posting Komentar

Senin, 24 Juni 2013

PROBLEM EPISTEMOLOGI : SUMBER KEBENARAN : EMPIRISISME

Diposting oleh Unknown di 02.07

Bersyukur kepada Allah SWT. atas terselesainya paper ini, dan shalawat serta salam selalu untuk baginda kita Muhammad SAW.
Sebelum pada pembahasan, inti dari makalah ini tentang empirisisme, alangkah lebih baiknya diketahui terlebih dahulu istilah-istilah yang menjadi judul besar di makalah ini yaitu berkenaan dengan istilah epistemologi. Kata epistemologi sudah sering kita dengar saat kita belajar, bukan hanya di mata kuliah Filsafat Agama saja, akan tetapi di mata kuliah yang lain pun hal ini dibahasnya.
Marilah kita mulai pembahasan ini dengan mengetahui arti atau maksud dari kata epistemologi.
Apa yang dimaksud dengan epistemologi?
Nah, disisni istilah epistemologi berasal dari kata Yunani, yang berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan.[1] Epistemologi adalah cabang studi filsafat yang membahas lingkup dan batas-batas pengetahuan.[2]
Apa maksud dari problem epistemologi : sumber kebenaran : empirisisme?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya epistemologi  berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu membutuhkan suatu kebenaran. Jika itu belum terbukti benar, maka  perlu adanya analisis dan uji ulang terhadap teori pengetahuan tersebut. Kebenaran pada hakikatnya adalah tujuan dari ilmu pengetahuan yang selalu berkembang. Namun ilmu pengetahuan tidak akan berkembang tanpa adanya suatu kritikan, analisis, dan lain sebagainya. Jadi mencari kebenaran adalah tujuan ilmu pengetahuan. Namun karena sifat kebenaran itu bervariasi, setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan, maka kebenaran itu merupakan problema yang ternyata membawa rentetan panjang dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui epistemologi dan bahkan logika dicoba digali tolok ukur untuk menentukan kebenaran.[3] Inilah langkah awal untuk mendirikan pondasi ilmu pengtahuan yang akan “menjawab” hakiki kesempatan untuk dikritik, diperbaiki, dan disempurnakan dengan memperhatikan dan memperhitungkan kenyataan yang berkembang dalam alam semesta. Contoh-contoh dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang membuktikan betapa kebenaran yang tampaknya telah mutlak diterima umum, kemudian ternyata bisa diubah dan disempurnakan. Misalnya teori Darwin yang menyatakan bahwasanya asal mula manusia itu dari “kera”. Pada saat itu khalayak umum begitu percaya, akan tetapi sekarang teori tersebut terbantahkan.
Manusia dikelilingi oleh materi. Namun manusia bukan tertarik pada materi-materi, melainkan bagaimana materi-materi tersebut ada dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini tentunya manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disini menimbulkan permasalahan dan perdebatan sengit di dalam diskusi-diskusi tentang apa dan darimana sumber-sumber atau asal mula ilmu pengetahuan. Yang perlu kita ketahui bahwasanya manusia memiliki pikiran dan pengetahuan yang tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan atau teori-teori lama tidak akan berkembang tanpa adanya suatu kritikan, sehingga perlulah manusia untuk berpikir kritis dan logis dalam memahami ilmu pengetahuan. Nah, tiga kemungkinan yang dimaksud tadi sumber-sumber kebenaran adalah empirisisme, rasionalisme,dan intuisi, yang ketiga tersebut sangatlah  berbeda. Yang akan saya bahas dalam kesempakatan kali ini adalah empirisisme.
Kata empirisisme, di dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata, yaitu empiris dan isme. Di  kamus ilmiah populer, kata empiris yaitu berdasarkan pengalaman dan penghayatan orang yang berpengalaman. Sementara isme yaitu suatu paham. Sehingga kata empirisme mengandung arti anggapan bahwa pengetahuan di dapat dari pengalaman atau dari indera. bertitik tolak dengan paham rasionalisme. Sementara rasionalisme adalah pandangan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam, atau terhadap sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi bersifat analitik.[4]
Salah satu sumber mendapatkan ilmu pengetahuan adalah empirisisme. Menurut empirisisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindra. Pancaindra mendapatkan kesan-kesan dari apa yang nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia.[5] Semisalkan contoh ketika saya mengatakan cabe, maka apa yang ada dalam pikiran anda? Mungkin itu pedas rasanya, kecil, buntet dan lain sebagainya. Akan tetapi kaum empirisisme tidak bisa menyepakati begitu saja tanpa mencoba terlebih dahulu. Kemudian mencoba dan merasakan cabe itu sehingga bisa percaya untuk mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya. Maka hal tersebut bisa dikatakan benar karena dapat mengalaminya sendiri. Inilah yang disebut dengan ilmu pengetahuan di dapat dari pengalaman. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu akan diperoleh lewat pengalaman-pengalaman indrawi yang sesuai.[6] Namun, pengalaman yang dimaksud itu pengalaman apa? Pertanyaan tersebut sangat menarik untuk kita kaji karena hal ini bisa menimbulkan pepertentangan yang berbeda.
Teori empirikal, teori yang menyatakan bahwa sumber konsepsi-konsepsi dan gagasan manusia itu berasal dari pengindraan.Sumber lain bahwa empirisisme itu adalah ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Inilah saya kira sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, yang mana pengetahuan itu didapat dari pengalaman inderawi.
Sekarang kita meranjak ke pembahasan tokoh-tokoh. akan tetapi alangkah baiknya jika kita membahas tokoh terdahulu pengikut aliran empirisisme. Para pemikir di Inggris lebih mengikuti jejak Fancis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengalaman. Orang pertama abad ke-17 di Inggris yang mengikuti aliran ini adalah Thomas Hobbes (15 88-1679 M.) Ia berpangkal pada empirisme secara konsekuen. Ia juga menerima metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Ia adalah seorang empiris yang mengagumi metode matematika, yaitu matematika yang murni dengan penerapannya.[7] Tradisi empiris kemudian dilanjutkan oleh John Locke. Untuk itu perlu diketahuijuga tokoh-tokoh yang mengikuti aliran empirisme ini.
1.      John Locke
Sekilas mengutip  tentang biografi John Locke:
      1632    : 24 Agustus lahir di Wrington/Somerset
      1652    : bekerja di Oxford
1662    : diangkat sebagai dosen retorika dan filsafat di Oxford, polemic tentang toleransi
1667    : pindah ke London, mengabdi Lord Earl of Shaftesbury
1668    : menjadi anggota society karena sumbangannya dalam ilmu alam dan ekonomi
1675    : istirahat di Prancis karena asma
1679    : kembali ke London
1683    : melarikan diri ke Belanda karena konflik politis
1689    : kembali ke Inggris, menolak jabatan pemerintah
1704    : meninggal di Oates/Essex pada tanggal 28 Oktober[8]
Adapun karya terpenting John Locke antara lain:
1690    : Essay Concerning Human Understanding (Karangan tentang pengertian manusiawi)
1689-1690-1692 : Letters on Toleration (Karangan-karangan tentang toleransi)
1690    : Two Treatises on Government (Dua karangan tentang pemerintah)
v  Pikiran-Pikiran  John Locke sekilas tentang Empirisisme
John Lock, Bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah ditulis pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkam ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.[9]
Perbedaan rasionalisme dan empirisme yaitu bahwa rasionalisme menekankan peranan “rasio”, akal budi, sementara empirisme menekankan peranan empeiria (bahasa Yunani), “pengalaman inderawi”. Descartes telah mencari dasar untuk kepastian, dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berfikir, maka saya ada”. Penglihatan ini menjadi titik pangkal aliran rasionalisme. Sementara John Locke berpendapat bahwa segala sesuatu dalam pikiran saya, berasal dari pengalaman inderawi, tidak dari akal budi.[10] Misalkan bahwa otak itu seperti secarik kertas yang masih putih tanpa  tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman, baru melalui pengalaman inderawi, secarik kertas itu diisi.
John Locke adalah filusuf terbesar empirisme, yang dilanjutkan oleh G. Barkeley dan David Hume. John Locke pun melanjutkan tradisi empirisisme setelah Thomas Hobbes. Tidak beda jauh dengan rasionalisme, empirisisme pun berat sebelah. Pengaruh John Locke terdapat di Prancis (Voltaire dan Montesquieu) dan Jerman (Kant). yang akhirnya Kant yang akan menyusun suatu epistemologi yang mempersatukan empirisme dan rasionalisme.
2.      George Berkeley
Di bidang filsafat, orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (1685-1753). Filosof ini memiliki pangkal pikiran yang sama dengan Locke. Namun mampu memberikan hasil atau simpulan-simpulan berbeda dengan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Kritikan terhadap Locke meskipun sangat kental dipengaruhi Locke. Locke membedakan antara ide dan pengalaman. Pengalaman dianggap sesuatu yang berasal dari objek, sedangkan idea adalah pengalaman yang dicerna oleh subjek. Berkeley tidak menyetujui perbedaan itu, dengan pendapat bahwa pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman yang diartikan oleh Locke diartikan sebagai pengalaman indrawi, oleh Berkeley dipahami sebagai pengalaman batiniah. Dengan cara itu pula persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman.[11] Pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Ini juga sebagai perbandingan pendapat antara empirisisme dan rasionalisme.
3.      David Hume
David Hume adalah seorang filsuf yang terkenal diseluruh dunia dengan pendapatnya “ Bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman”. David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26 April 1711 dengan nama aslinya David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah namanya karena di Inggris kesulitan mengucapkan “ Home” dengan cara skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusufchrinside dan Khaterine Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada saat usia Hume masih anak-anak, sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.
Menurut David Hume bahwasanya manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimasud kesan-kesan adalah pengslaman langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima pengalaman. Ide kurang jelas, kurang hidup, jika dibanding dengan kesan-kesan. Ia juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberikan keyakinan dibanding dengan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Bahkan menurutnya pengalamanlah yang memberikan informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai dengan waktu dan tempat.[12] Begitu juga akal tidak bisa bekerja tanpa bantuan pengalaman.
Jika ditarik kesimpulan, empirisisme ini lebih menyatakan bahwasanya pengetahuan itu bersumber dari pengalaman. John Locke menyatakan bahwasanya pengetatahuan bersumber dari pengalaman indrawi. Sementara George Berkeley menyatakan bahwasanya pengetahuan bersumber dari pengalaman batiniyah. Sedangkan David Hume yang merupakan puncak dari aliran empirisisme menyatakan bahwasanya pengetahuan itu bersumber dari pengalaman lahiriyah (indrawi) dan pengalaman batiniyah. Demikianlah paper yang bisa saya sampaikan saat ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan ke depannya.
  
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Prof. Dr,  MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan Logika, .Bandung: Remaja Karya CV, 1985.

Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Hamersma, Harry, Dr., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986.

Hardiman,F.Budi,., Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Hardiman,F.Budi,.Filsafat Moderen Dari Machiavelli Sampai Nietzsch” Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004.

Kattsoff, Louis O ,Pengantar Filsafat, (terj.), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.

Partono,Pius A., dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.







[1] Filsafat manusia dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Dalam lingkup studi filsafat ditemukan cabang penting, yaitu epistemology, yang secara khusus mengupas ilmu pengetahuan.
[2] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika, (Bandung: Remaja Karya CV, 1985),cet. I, h.1
[3]Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika, h.86
[4] Partono,Pius A., dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)
[5] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.41
[6] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj.), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h.137
[7] Dr. Harun Hadiwijono., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.35, cet.IV
[8] F. Budi Hardiman,., Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 74
[9] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, h. 42
[10] Hamersma, Harry, Dr., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.19, cet.III
[11] F. Bbudi Hardiman “Filsafat Moderen Dari Machiavelli Sampai Nietzsch” ( Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004) h. 83-84
[12] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, h.43

0 komentar on "PROBLEM EPISTEMOLOGI : SUMBER KEBENARAN : EMPIRISISME"

Posting Komentar

 
Copyright NINA NURMILAH 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .