Bersyukur
kepada Allah SWT. atas terselesainya paper ini, dan shalawat serta salam selalu
untuk baginda kita Muhammad SAW.
Sebelum
pada pembahasan, inti dari makalah ini tentang empirisisme, alangkah lebih
baiknya diketahui terlebih dahulu istilah-istilah yang menjadi judul besar di
makalah ini yaitu berkenaan dengan istilah epistemologi.
Kata epistemologi sudah sering
kita dengar saat kita belajar, bukan hanya di mata kuliah Filsafat Agama saja,
akan tetapi di mata kuliah yang lain pun hal ini dibahasnya.
Marilah
kita mulai pembahasan ini dengan mengetahui arti atau maksud dari kata epistemologi.
Apa
yang dimaksud dengan epistemologi?
Nah,
disisni istilah epistemologi berasal
dari kata Yunani, yang berarti studi atau penelitian tentang pengetahuan.[1] Epistemologi adalah cabang studi
filsafat yang membahas lingkup dan batas-batas pengetahuan.[2]
Apa
maksud dari problem epistemologi : sumber kebenaran : empirisisme?
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwasanya epistemologi
berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu membutuhkan
suatu kebenaran. Jika itu belum terbukti benar, maka perlu adanya analisis dan uji ulang terhadap
teori pengetahuan tersebut. Kebenaran pada hakikatnya adalah tujuan dari ilmu
pengetahuan yang selalu berkembang. Namun ilmu pengetahuan tidak akan
berkembang tanpa adanya suatu kritikan, analisis, dan lain sebagainya. Jadi
mencari kebenaran adalah tujuan ilmu pengetahuan. Namun karena sifat kebenaran
itu bervariasi, setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan, maka kebenaran itu
merupakan problema yang ternyata membawa rentetan panjang dalam sejarah ilmu
pengetahuan. Melalui epistemologi dan bahkan logika dicoba digali tolok ukur
untuk menentukan kebenaran.[3]
Inilah langkah awal untuk mendirikan pondasi ilmu pengtahuan yang akan
“menjawab” hakiki kesempatan untuk dikritik, diperbaiki, dan disempurnakan
dengan memperhatikan dan memperhitungkan kenyataan yang berkembang dalam alam
semesta. Contoh-contoh dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan yang
membuktikan betapa kebenaran yang tampaknya telah mutlak diterima umum, kemudian
ternyata bisa diubah dan disempurnakan. Misalnya teori Darwin yang menyatakan
bahwasanya asal mula manusia itu dari “kera”. Pada saat itu khalayak umum
begitu percaya, akan tetapi sekarang teori tersebut terbantahkan.
Manusia
dikelilingi oleh materi. Namun manusia bukan tertarik pada materi-materi,
melainkan bagaimana materi-materi tersebut ada dalam kehidupan manusia. Dalam
hal ini tentunya manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disini
menimbulkan permasalahan dan perdebatan sengit di dalam diskusi-diskusi tentang
apa dan darimana sumber-sumber atau asal mula ilmu pengetahuan. Yang perlu kita
ketahui bahwasanya manusia memiliki pikiran dan pengetahuan yang tentunya
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan atau teori-teori
lama tidak akan berkembang tanpa adanya suatu kritikan, sehingga perlulah
manusia untuk berpikir kritis dan logis dalam memahami ilmu pengetahuan. Nah, tiga kemungkinan yang dimaksud tadi
sumber-sumber kebenaran adalah empirisisme, rasionalisme,dan intuisi, yang
ketiga tersebut sangatlah berbeda. Yang
akan saya bahas dalam kesempakatan kali ini adalah empirisisme.
Kata
empirisisme, di dalam bahasa
Indonesia berasal dari dua kata, yaitu empiris dan isme. Di kamus ilmiah populer, kata empiris
yaitu berdasarkan pengalaman dan penghayatan orang yang berpengalaman.
Sementara isme yaitu suatu paham. Sehingga kata empirisme
mengandung arti anggapan bahwa pengetahuan di dapat dari pengalaman atau dari
indera. bertitik tolak dengan paham rasionalisme. Sementara rasionalisme
adalah pandangan bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat mengetahui
dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam, atau terhadap sesuatu
kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi bersifat
analitik.[4]
Salah
satu sumber mendapatkan ilmu pengetahuan adalah empirisisme. Menurut
empirisisme, pengetahuan diperoleh dengan perantara pancaindra. Pancaindra
mendapatkan kesan-kesan dari apa yang nyata dan kesan-kesan itu berkumpul dalam
diri manusia.[5]
Semisalkan contoh ketika saya mengatakan cabe, maka apa yang ada dalam pikiran
anda? Mungkin itu pedas rasanya, kecil, buntet dan lain sebagainya. Akan tetapi
kaum empirisisme tidak bisa menyepakati begitu saja tanpa mencoba terlebih
dahulu. Kemudian mencoba dan merasakan cabe itu sehingga bisa percaya untuk
mengatakan bahwa cabe itu pedas rasanya. Maka hal tersebut bisa dikatakan benar
karena dapat mengalaminya sendiri. Inilah yang disebut dengan ilmu pengetahuan
di dapat dari pengalaman. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan
bahwa pengetahuan itu akan diperoleh lewat pengalaman-pengalaman indrawi yang
sesuai.[6] Namun,
pengalaman yang dimaksud itu pengalaman apa? Pertanyaan tersebut sangat menarik
untuk kita kaji karena hal ini bisa menimbulkan pepertentangan yang berbeda.
Teori
empirikal, teori yang menyatakan bahwa sumber konsepsi-konsepsi dan gagasan
manusia itu berasal dari pengindraan.Sumber lain bahwa empirisisme itu adalah
ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Inilah saya kira
sebagai jawaban dari pertanyaan di atas, yang mana pengetahuan itu didapat dari
pengalaman inderawi.
Sekarang
kita meranjak ke pembahasan tokoh-tokoh. akan tetapi alangkah baiknya jika kita
membahas tokoh terdahulu pengikut aliran empirisisme. Para pemikir di
Inggris lebih mengikuti jejak Fancis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang
memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengalaman. Orang
pertama abad ke-17 di Inggris yang mengikuti aliran ini adalah Thomas Hobbes
(15 88-1679 M.) Ia berpangkal pada empirisme secara konsekuen. Ia juga menerima
metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah
mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis dalam bentuk suatu
filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Ia adalah seorang empiris
yang mengagumi metode matematika, yaitu matematika yang murni dengan
penerapannya.[7]
Tradisi empiris kemudian dilanjutkan oleh John Locke. Untuk itu perlu
diketahuijuga tokoh-tokoh yang mengikuti aliran empirisme ini.
1. John Locke
Sekilas
mengutip tentang biografi John Locke:
1632 :
24 Agustus lahir di Wrington/Somerset
1652 :
bekerja di Oxford
1662 :
diangkat sebagai dosen retorika dan filsafat di Oxford, polemic tentang
toleransi
1667 :
pindah ke London, mengabdi Lord Earl of Shaftesbury
1668 :
menjadi anggota society karena sumbangannya dalam ilmu alam dan ekonomi
1675 :
istirahat di Prancis karena asma
1679 :
kembali ke London
1683 :
melarikan diri ke Belanda karena konflik politis
1689 :
kembali ke Inggris, menolak jabatan pemerintah
1704 :
meninggal di Oates/Essex pada tanggal 28 Oktober[8]
Adapun
karya terpenting John Locke antara lain:
1690 :
Essay Concerning Human Understanding (Karangan tentang pengertian
manusiawi)
1689-1690-1692 : Letters on
Toleration (Karangan-karangan tentang toleransi)
1690 :
Two Treatises on Government (Dua karangan tentang pemerintah)
v Pikiran-Pikiran
John Locke sekilas tentang Empirisisme
John
Lock, Bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan
akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong (tabula rasa), dan di dalam buku
catatan itulah ditulis pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkam ide-ide
yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana.[9]
Perbedaan
rasionalisme dan empirisme yaitu bahwa rasionalisme menekankan peranan “rasio”,
akal budi, sementara empirisme menekankan peranan empeiria (bahasa
Yunani), “pengalaman inderawi”. Descartes telah mencari dasar untuk kepastian,
dan dia mendapat dasar ini dalam penglihatan “saya berfikir, maka saya ada”.
Penglihatan ini menjadi titik pangkal aliran rasionalisme. Sementara John Locke
berpendapat bahwa segala sesuatu dalam pikiran saya, berasal dari pengalaman
inderawi, tidak dari akal budi.[10]
Misalkan bahwa otak itu seperti secarik kertas yang masih putih tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang
datang dari pengalaman, baru melalui pengalaman inderawi, secarik kertas itu
diisi.
John
Locke adalah filusuf terbesar empirisme, yang dilanjutkan oleh G. Barkeley dan
David Hume. John Locke pun melanjutkan tradisi empirisisme setelah Thomas
Hobbes. Tidak beda jauh dengan rasionalisme, empirisisme pun berat sebelah.
Pengaruh John Locke terdapat di Prancis (Voltaire dan Montesquieu) dan Jerman (Kant).
yang akhirnya Kant yang akan menyusun suatu epistemologi yang mempersatukan
empirisme dan rasionalisme.
2.
George Berkeley
Di bidang filsafat, orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (1685-1753). Filosof ini memiliki pangkal pikiran yang sama dengan Locke. Namun mampu
memberikan hasil atau simpulan-simpulan berbeda dengan Locke, yaitu lebih
tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke.
Kritikan terhadap Locke meskipun sangat kental
dipengaruhi Locke. Locke membedakan antara ide dan pengalaman. Pengalaman dianggap sesuatu
yang berasal dari objek, sedangkan idea adalah pengalaman yang dicerna oleh
subjek. Berkeley tidak menyetujui perbedaan itu, dengan pendapat bahwa
pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman yang diartikan oleh Locke diartikan sebagai pengalaman indrawi, oleh Berkeley
dipahami sebagai pengalaman batiniah. Dengan cara itu pula persepsi, citra, dan
idea sama dengan pengalaman.[11]
Pengetahuan subjek itu diperoleh
lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu
adalah pengalaman batin. Ini juga sebagai perbandingan pendapat
antara empirisisme dan rasionalisme.
3. David Hume
David Hume adalah seorang filsuf yang terkenal diseluruh
dunia dengan pendapatnya “ Bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman”. David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26
April 1711 dengan nama aslinya David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah namanya karena di Inggris
kesulitan mengucapkan “ Home” dengan cara
skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusufchrinside dan Khaterine
Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada saat usia Hume masih anak-anak, sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.
Menurut
David Hume bahwasanya manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal,
kesan-kesan (impressions) dan
pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas).
Yang dimasud kesan-kesan adalah pengslaman langsung yang diterima dari
pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang
menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan
terbakar. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan
yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau
merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang diterima pengalaman. Ide kurang
jelas, kurang hidup, jika dibanding dengan kesan-kesan. Ia juga menegaskan bahwa
pengalaman lebih memberikan keyakinan dibanding dengan kesimpulan logika atau
kemestian sebab akibat. Bahkan menurutnya pengalamanlah yang memberikan
informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai dengan
waktu dan tempat.[12] Begitu
juga akal tidak bisa bekerja tanpa bantuan pengalaman.
Jika
ditarik kesimpulan, empirisisme ini lebih menyatakan bahwasanya pengetahuan itu
bersumber dari pengalaman. John Locke menyatakan bahwasanya pengetatahuan
bersumber dari pengalaman indrawi. Sementara George Berkeley menyatakan
bahwasanya pengetahuan bersumber dari pengalaman batiniyah. Sedangkan David
Hume yang merupakan puncak dari aliran empirisisme menyatakan bahwasanya
pengetahuan itu bersumber dari pengalaman lahiriyah (indrawi) dan pengalaman
batiniyah. Demikianlah paper yang bisa saya sampaikan saat ini, semoga
bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan
tulisan ke depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Prof. Dr, MA, Filsafat
Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama, Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Epistemologi dan Logika,
.Bandung: Remaja Karya CV, 1985.
Hadiwijono,
Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hamersma,
Harry, Dr., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986.
Hardiman,F.Budi,.,
Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hardiman,F.Budi,. “Filsafat Moderen
Dari Machiavelli Sampai Nietzsch” Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004.
Kattsoff,
Louis O ,Pengantar Filsafat, (terj.),
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
Partono,Pius
A., dan M.Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
[1] Filsafat manusia dipandang
sebagai induk ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Dalam lingkup studi filsafat
ditemukan cabang penting, yaitu epistemology, yang secara khusus mengupas ilmu
pengetahuan.
[2] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika,
(Bandung: Remaja Karya CV, 1985),cet. I, h.1
[3]Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Logika, h.86
[4] Partono,Pius A., dan M.Dahlan
al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)
[5] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.41
[6] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj.),
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h.137
[7] Dr. Harun Hadiwijono., Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.35, cet.IV
[8] F. Budi Hardiman,., Filsafat
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 74
[9] Prof. Dr, Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Agama, h. 42
[10] Hamersma, Harry, Dr., Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.19, cet.III
[11] F. Bbudi
Hardiman “Filsafat Moderen Dari
Machiavelli Sampai Nietzsch” ( Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama 2004) h.
83-84
[12]
Prof. Dr, Amsal Bakhtiar,
MA, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Agama, h.43

0 komentar:
Posting Komentar